Jumat, 20 September 2013

KONSEP MEDIASI SEBAGAI SARANA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

KONSEP MEDIASI SEBAGAI SARANA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Oleh Dr. H. Achmad Kholidin, S.H.,M.H


A.    Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Hubungkan dengan Efektifitas Penegakan Hukum Lingkungan

Pembangunan ekonomi dan industri, menjadi fokus negara-negara di dunia saat ini, yang tentunya disamping membawa dampak positif seperti meningkatnya penerimaan devisa, pengurangan pengangguran, pembangunan infrastruktur akan tetapi juga membawa dampak negatif, dimana pembangunan industri akan dibarengi dengan meningkatnya ekploitasi sumber daya untuk bahan baku, energi produksi. Meningkatnya konsumsi sumber daya tersebut akan berakibat pada meningkatnya pula limbah hasil produksi. 
Limbah hasil produksi tidak boleh dibuang secara sembarangan, hal itu untuk mencegah terjadinya pencemnaran lingkungan. Perusahaan dalam mengelola limbah harus memperhatikan baku mutu lingkungan (baku mutu air, baku mutu tanah dan baku mutu udara ) sehingga limbah yang dibuang tidak membahayakan. Sebaliknya jika perusahaan tidak memperhatikan baku mutu tersebut maka limbah yang dilepaskan/ dibuang dapat mencemari lingkungan yang tentunya sangat merugikan bagi kelangsungan hidup ekosistem lingkungan serta masyarakat.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup erat kaitannya dengan pembangunan, dimana pembangunan ekonomi yang terjadi saat ini sangat membutuhkan suplai bahan baku, lahan, energi dan tentunya akan sangat memberikan beban bagi lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan mensinergikan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelangsungan lingkungan hidup karena jika tidak dilakukan sinergi yang terjadi adalah suatu pertumbuhan ekonomi yang mengekploitasi sumberdaya tanpa memperhatikan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Sesuai dengan Pasal 69 UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan kewajiban bagi semua masyarakat untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan serta mengendalikan pencemarana atau perusakan lingkungan. Kewajiban tersebut hadir sebagai konsekwensi tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat menyangkut kepentingan umum dan merupakan milik bersama. Hak untuk menikmati lingkungan yang sehat dijamin oleh Konstitusi, dalam Pasal 28 J Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan  “Jaminan atas hak hidup dalam lingkungan yang sehat bagi setiap warga negara memberikan kewajiban bagi negara untuk dapat mengontrol lingkungan supaya tetap sustain ( berkelanjutan ) sebagaimana disampaikan oleh Stuart Bell dan David Mc Gillivray terkait pembangunan berkelanjutan  yang menyatakan The concept sustainable development is control to the recent and future development of environmental law and policy
Bahwa untuk menjaga sinergitas antara kegiatan ekonomi ( usaha ) dengan perlindungan lingkungan hidup, UU PPLH Pasal 68 juga memberikan kewajiban kepada pelaku bisnis untuk memberikan informasi terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat dan terbuka, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup serta mentaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Akan tetapi dalam praktek ternyata kewajiban-kewajiban terkait perlindungan terhadap lingkungan hidup sering kali diabaikan akibatnya timbuk pencemaran yang berujung pada terjadinya sengketa lingkungan hidup.Sesuai dengan Pasal 1 butir 25 Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan atau telah berdampak pada lingkungan hidup. Atas terjadinya sengketa lingkungan hidup yang terjadi UU PPLH mengatur tentang mekanisme penyelesaian sengketa yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 84 dimana didalamnya terdapat 3 ( tiga ) hal penting yaitu: pertama bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan, kedua para pihak boleh secara bebas menentukan mekanisme apa yang ditempuh untuk penyelesaian sengketa yang dihadapi dan ketiga bahwa pengajuan gugatan di pengadilan adalah jalan terakhir setelah penyelesaian di luar poengadilan tidak mendapai kesepakatan atau penyelesaian.
Jika dilihat dari ketentuan Pasal 84 UUPPLH tersebut, maka secara filosofis pembuat undang-undang meletakkan penyelesaian sengketa melalui jalur diluar pengadilan ( out of court settlement ) sebagai opsi utama dan lebih lanjut penyelesaian diluar pengadilan menjadi prasyarat bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan melalui pengajuan gugatan.
Sebagaimana disampaikan oleh Keit Hawkins bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari dua startegi yaitucompliance (pemenuhan) dengan concilatory style (perdamaian) sebagai karakteristiknya dan sanctioning (sanksi) dengan penal style (penghukuman) sebagai karakteristiknya.
Berangkat dari pendapat keit Hawkins maka penegakan hukum tidak hanya terbatas kepada proses litigasi akan tetapi non litigasi melalui proses conciliatory style seperti Mediasi yang merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009,   Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Pasal 84 dan Pasal 85 menetapkan 2 mekanisme penyelesian sengketa lingkungan hidup yaitu melalui penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan di luar pengadilan maka UU PPLH mengikuti pola penegakan hukum sebagaimana disampaikan oleh Keit Hawkins yaitu compliance Model(Pentaaatan) yaitu pengajuan gugatan ke pengadilan dan penuntutan pidana  dan conciliatory style ( mendamaikan ) yaitu mekanisme Mediasi.

1.            Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi
Untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang terjadi UU PPLH mengatur tentang mekanisme penyelesaian sengketa yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 84 dimana didalamnya terdapat 3 ( tiga ) hal penting yaitu:
1)      bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan.
2)      kedua para pihak boleh secara bebas menentukan mekanisme apa yang ditempuh untuk penyelesaian sengketa yang dihadapi dan
3)      bahwa pengajuan gugatan di pengadilan adalah jalan terakhir setelah penyelesaian di luar pengadilan tidak mendapat kesepakatan atau penyelesaian.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui litigasi baik secara perdata, Administratisi maupun pidana sebagai suatu penegakan hukum lingkungan adalah penyelesaian klasik suatu sengketa.Para pihak bersengketa membawa masalah hukumnya ke pengadilan didsarkan kepada posisi bahwa mereka yakin akan memenangkan proses gugatan. Akan tetapi dalam praktek litigasi tunduk kepada prosedur hukum acara yang ketat sehingga seringkali keputusan akhir di pengadilan berbeda dengan apa yang diharapkan orang para pihak.
Menurut ketentuan Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup, penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat meliputi  ganti kerugian dan pemulihan lingkungan, dan gugatan administratif. Disamping itu penegakan hukum lingkungan hidup di pengadilan dapat juga ditempuh melalui hukum pidana. Karena sifatnya sebagai upaya penegakan hukum terakhir, penegakan hukum pidana baru dapat dilakukan jika upaya hukum lain sudah tidak efektif lagi. Pengertian dari tidak efektif di sini adalah upaya-upaya hukum lain sudah dilaksanakan tetapi tidak berjalan maksimal, hal ini terjadi apabila aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar dengan sanksi administrasi tersebut, tetapi tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi atau telah dilakukan upaya penyelesaian dengan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa, namun hal tersebut menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan secara hukum perdata, namun upaya tersebut juga tidak efektif.
Jika dilihat dari daftar rekapitulasi penanganan kasus lingkungan hidup di Indonesia pada Kementerian Lingkungan Hidup sejak diberlakukannya Undang-undang Lingkungan Hidup antara tahun 1989 hingga 2010,  banyak perkara lingkungan hidup yang gagal penangannanya dimana banyak yang tidak terbukti ataupun yang dimenangkan oleh Penggugat yaitu :
1)      Untuk perkara yang masuk melalui Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat 6 perkara, hanya 1 perkara yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2)      Untuk perkara yang masuk melalui Pengadilan Negeri dalam gugatan perdata terdapat 41 gugatan perkara , hanya 3 perkara yang memenangkan Penggugat dan mempunyai kekuatan hukum tetap, dan 39 perkara lainnya dikalahkan oleh Tergugat berdasarkan argumentasi hukum.
3)      Untuk perkara tindak pidana terdapat 40 kasus yang terjadi, 17 perkara telah di sidangkan di Pengadilan Negeri dan hanya 7 perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, namun para pelakunya hanya dijatuhi hukuman kisaran antara 1 sampai 2 tahun dan 2 perkara diputus percobaan dan 14 kasus lainnya masih tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan
4)      Untuk tahun 2009 hingga 2010 terdapat 20 kasus tindak pidana yang maju ke Pengadilan dan masih menggunakan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997,  dengan hasil penyelesaian perkara yaitu 7 kasus divonis penjara, 11 kasus di vonis bebas dan 2 kasus dihukum percobaan.
5)      Untuk tahun 2011, terdapat 13 perkara yang diajukan dan disidang tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali,  dan dari ke 13 perkara tersebut 9 perkara yang diputus pidana melalui kasasi, dan 4 perkara yang di putus pidana melalui PK. Dan pada tahun ini Mahkamah Agung mengumumkan denda yang diperoleh dari perkara lingkungan hidup hanya Rp. 88.050.000,- dari 13 perkara yang disidangkan.

Tabel 1: Penanganan Kasus Lingkungan Hidup di Indonesia
dari Tahun 1989  s.d 2010


NO
PENANGANAN PERKARA
PROGRES PERKARA
PERKARA MASUK
BERKEKUATAN HUKUM TETAP
1
Melalui Gugatan Perdata
41
3
2
Melalui Pidana
17
7
3
Melalui Gugatan TUN
6
1
4
Perkara pidana dalam proses persidangan dari tahun 2009-2010
20
7


Tabel 2 : Perkara Sengketa Lingkungan Hidup dalam Tindak Pidana Khusus Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali


NO
PENANGANAN PERKARA
PROGRES PERKARA
JUMLAH
1
Tindak Pidana Khusus Tahun 2011
Kasasi
PK

9
4
13

Hasil studi tentang efektitas penyelesaiaan senketa lingkungan di Indonesia dalam kurun waktu 1998 – 2009 yang dipaparkan David Nicholson  menemukan bahwa korban-korban pencemaran merasakan betapa sulitnya membuktikan kasus mereka di pengadilan. Dalam kasus litigasi, dari 23 kasus yang berhasil diketahui putusan akhirnya, 87% kalah di pengadilan, baik karena alasan prosedural maupun substantif. Waktu yang harus ditempuh untuk memperoleh putusan pengadilan pun cukup lama, antara 2-10 tahun. Alasan utama rendahnya tingkat keberhasilan ini adalah kendala-kendala hukum dalam membuktikan adanya pencemaran dan perusakan lingkungan, selain juga karena baik penyidik/penuntut maupun hakim tidak “akrab” dengan hukum lingkungan.
Laporan ini menyimpulkan bahwa mediasi adalah sebuah mekanisme yang efektif sekurang-kurangnya dari sudut pandang mereka yang hanya menginginkan kompensasi untuk kerusakan lingkungan. Dari 17 kasus yang diteliti, sebanyak 82% di antaranya mencapai kesepakatan (seluruhnya atau sebagian) dan 64 % tuntutan kompensasi telah dibayar oleh perusahaan. Proses mediasi ini juga relatif cepat, butuh waktu rata-rata 1,2 tahun dari awal untuk finalisasi. Tapi pada umumnya dibutuhkan banyak waktu dan energi untuk membuat pelaku pencemaran menyetujui mediasi, rata-rata ada selang waktu 10,1 tahun antara timbulnya pencemaran dan tercapainya kesepakatan dalam proses mediasi. Dalam 47% dari kasus-kasus tersebut, konflik lebih lanjut yang signifikan terjadi setelah kesepakatan dicapai.
Kondisi tersebut  menunjukkan bahwa penyelesaian melalui jalur litigasi tidak efektif dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui Mediasi. Kondisi tersebut berbeda dengan penyelesaian melalui Mediasi dimana waktu penyelesaian lebih singkat dan tingkat keberhasilan (mencapai kesepakatan seluruh atau sebagaiannya) sangat tinggi.
Bahwa tidak efektifnya dalam penyelesaian sengketa lingkungan  hidup yang ditandai dengan gagalnya gugatan atau tidak terbuktinya dakwaan Penuntutan. Untuk mencari kelemahan-kelamahan dari penyelesaian secara litigasi dapat di gunakan teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja sebagai sandaran hukumnya. Dari kajian penulis ditemukan beberapa  faktor yang dapat mempengaruhi jalan penegakan hukum lingkungan secara litigasi yaitu antara lain :
1)            Peraturan Perundang-undangan Yang Kurang Jelas
Bahwa terdapat beberapa hal terkait belum jelasnya peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan hidup sehingga menyebabkan kelemahan dalam penyelesaian litigasi yaitu :
a.       Rumusan sengketa hanya dapat menjangkau kegiatan yang telah  berlangsung yang menimbulkan atau diduga menimbulkan pencemaran lingkunganbelum jelas kriteria kerugian lingkungan dan pembedaan antara kerugian orang/masyarakat dengan kerugian lingkungan.
b.      Kurang jelasnya pengaturan tentang penerapan asas strict liability dalam pertanggungjawaban hukum perdata.
c.       Belum jelas mekanisme perwakilan negara dalam proses pengajuan gugatan atas nama masyarakat. Selain itu juga belum ada ketentuan yang mengatur tentang mekanisme pembagian dan akuntabilitas dari pembagian ganti rugi yang didapatkan dari gugatan tersebut.
d.      Instansi pemerintah yang dapat mewakili lingkungan hidup dalam menggugat ganti rugi dan/atau tindakan tertentu terhadap pencemar dan/atau perusak lingkungan hanya Kementerian Lingkungan Hidup (tingkat pusat). Padahal, banyak kasus pencemaran atau perusakan terjadi di tingkat lokal di mana pemerintah pusat tidak mampu menangani kasus-kasus tersebut. Hal ini terjadi karena penentuan tentang siapa yang berwenang mengajukan gugatan ganti rugi lingkungan saat ini hanyalah didasarkan pada UU No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UUPNBP 1997). Dalam peraturan ini diatur bahwa penerimaan negara bukan pajak merupakan penerimaan pemerintah pusat. Oleh karena ganti rugi lingkungan merupakan penerimaan negara bukan pajak, maka yang berwenang mengajukan gugatan hanya instansi pemerintah yang bertanggung-jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di pusat yaitu Kementerian Lingkungan Hidup. Instansi pemerintah yang dapat mewakili lingkungan hidup dalam menggugat ganti rugi dan/atau tindakan tertentu terhadap pencemar dan/atau perusak lingkungan hanya Kementerian Lingkungan Hidup (tingkat pusat).
e.       Masih belum tegasnya pemberian sanksi hukum dan turunannya seperti pencabutan izin usaha dan pemberhentian produksi terhadap para pencemar dan perusak lingkungan.

2)      Kurang memadainya kemampuan penggugat baik masyarakat maupun pemerintah
Selain dari sisi peraturan yang masih memiliki kelemahan, faktor lain yang juga mempengaruhi efektivitas sebuah proses litigasi adalah memadai atau tidaknya sumber daya si penggugat. Sumber daya dalam hal ini diartikan sebagai kemampuan finansial, kemampuan untuk mengkonstruksikan gugatan, kemampuan untuk menyediakan alat bukti, dan kemampuan untuk menghadirkan saksi ahli. Dalam kasus-kasus sengketa lingkungan, pada umumnya pihak penggugat merupakan masyarakat korban pencemaran yang secara ekonomi berkemampuan terbatas.
Masyarakat tidak memiliki cukup uang untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Oleh karena itu, dalam banyak upaya penyelesaian sengketa lingkungan, masyarakat pada umumnya diwakili oleh LSM yang memberikan pelayanan secara pro bono. Pada saat yang sama, LSM sendiri juga memiliki keterbatasan keuangan sehingga dalam kasus-kasus gugatan yang mengatasnamakan lingkungan (legal standing of NGO), LSM sering kali tidak benar-benar dapat mengawal proses.
Kendala lain yang dihadapi penggugat pada umumnya adalah kesulitan menyediakan bukti secara lengkap di persidangan bahwa telah terjadi pencemaran. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kesulitan tersebut:
a.       sulitnya mendapatkan akses informasi atau data yang dikelola oleh pemerintah atau pihak perusahaan;
b.      pemerintah atau perusahaan memang tidak mendokumentasikan data, misalnya terkait pengawasan, pembuangan limbah, dll.;
c.       Jika data dapat diakses, terdapat indikasi penggugat (peminta informasi) harus membayar mahal untuk mendapatkan informasi/data/bukti yang diperlukan;
d.      apabila ingin mendapatkan bukti sendiri, maka biaya yang diperlukan juga cukup tinggi, misalnya biaya untuk uji laboratorium. Keterbatasan tersebut sering kali memaksa pihak penggugat menggunakan bukti-bukti seadanya, misalnya kliping koran, yang sering kali ditolak oleh hakim karena memang kliping koran bukan merupakan barang bukti dalam aturan hukum yang berlaku di Indonesia.

3)      Kurang memadainya kemampuan hakim dalam memutus perkara lingkungan
Kendala penggugat untuk menyediakan bukti tersebut di atas menjadi persoalan besar dalam penyelesaian sengketa lingkungan ketika dihadapkan dengan kurangnya kemampuan dan pemahaman hakim dalam menangani sengketa lingkungan. Salah satu contoh kurangnya kemampuan hakim adalah dalam memaknai bukti scientific sebagai bukti hukum. Dalam kasus pencemaran atau perusakan lingkungan, ketersediaan bukti sangat penting untuk membuktikan kausalitas perbuatan dan dampak yang timbul. Hakim dalam hal ini sering gagal memaknai bukti scientific Walaupun hakim kadang kala gagal menerjemahkan bukti scientific menjadi bukti hukum sehingga tidak menjadikannya sebagai dasar pengambilan keputusan, namun sering kali bukti-bukti scientific tersebut diminta oleh hakim kepada penggugat.
Pada kasus Laguna Mandiri misalnya Pihak Penggugat menghadirkan saksi yang dalam kesaksiannya di pengadilan menjelaskan bahwa api disulut merupakan cara yang dilakukan oleh Laguna Mandiri untuk land clearing. Kesaksian tersebut oleh Pengadilan Negeri diterima akan tetapi Pengadilan Tinggi tidak menerima karena saksi tidak berada di tempat kejadian pada saat pembakaran sehingga keterangan saksi diragukan.
Pada kasus Pakerin, Hakim juga gagal untuk menerjemahkan bukti scientific yaitu foto satelit mengenai lokasi titik api yang berada di kawasan konsesi perusahaan. Dengan menggunakan bukti tersebut serta asas strict liability maka sebenarnya telah dapat dibuktikan akan tetapi karena pengadilan menerapkan kesengajaan maka gugatan ditolak.

4)      Perilaku hakim yang legalistic
Hakim dalam menangani sengketa lingkungan, setidaknya dari 27 kasus-kasus yang dijadikan studi, terlihat masih legalistik yakni memaknai perundang-undangan secara sempit, hanya membaca yang tersurat serta kurang melihat konteks persoalan (keadilan dan perlindungan lingkungan) secara lebih luas. Dalam kasus Pelepasan Kapas Transgenik, hakim menafsirkn secara sempit bahwa pelepasan produk transgenik bukan  suatu aktifitas yang wajib AMDAL
.
5)      Institusi peradilan belum sepenuhnya mandiri
Dalam pembuatan putusan di pengadilan merupakan sebuah proses penerapan hukum yang mandiri dan netral, tanpa campur tangan pihak mana pun, akan tetapi tidak dihindarkan bahwa pembuatan putusan pengadilan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk faktor politik dan sosial di luar pengadilan. Dalam konteks saat ini, korupsi, tekanan politik, dan pemberitaan media merupakan faktor yang cukup mempengaruhi hasil putusan pengadilan.
Dalam kasus pencemaran Buyat dan Lumpur Lapindo peranan  politik hukum negara turut menentukan putusan akhir gugatan korban pencemaran. Terlebih lagi bila ada kepentingan penguasa yang sengaja mencampuri putusan hakim maka akan sangat berpengaruh dalam putusan hakim. Dalam perkara lumpur lapindo dalam gugatan di pengadilan selalu dikalahkan dan bahkan berkas penyidikan tindak pidana dihentikan atau di SP3, dengan alasan bahwa lumpur Lapindo merupakan bencana alam bukanlah kesalahan prosedur dalam melakukan pengeboran.
Kegagalan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui litigasi menjadikan penegakan hukum lingkungan semakin jauh dari tujuannya, dimana dengan adanya kekalahan di pengadilan oleh pihak Penggugat (korban) atau Penuntut Umum maka  pihak pencemar terhindar untuk melakukan recovery terhadap lingkungan yang tercemar, karena dalam penyelesaian litigasi yang ada hanya menang atau kalah. Jika pihak Tergugat atau Terdakwa  dianggap tidak terbukti melakukan pencemaran maka akan di bebaskan dari hukuman dan kewajiban untuk melakukan recovery, dalam kondisi demikian tentunya akan menjadi beban kepada Negara untuk melakukan recovery terhadap lingkungan karena kerugian dan kerusakan tidak dibebankan kepada pihak yang diduga sebagai pencemar.. Jika pemerintah tidak segera melakukan perbaikan maka kondisi lingkungan yang telah tercemar tersebut akan semakin rusak maka dengan sendirinya tidak dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakat dan tidak nyaman untuk ditinggali. Sedangkan rakyat memiliki hak yang dilindungi oleh konstitusi untuk menikmati lingkungan yang sehat dan kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia.

2.      Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Non Litigasi
Berdasarkan Pasal 85 ayat 1 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan untuk sengketa lingkungan yang sering digunakan adalah mediasi. Sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, mediasi adalah salah satu model penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan jasa pihak ketiga netral yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan dan hanya berfungsi sebagai fasilitator untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan yang sedang saling bertabrakan. Model penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan cara mediasi yang demikian ini, menurut kalkulasi perhitungan biaya (cost) yang harus dikeluarkan dalam penyelesaian sengketa termasuk sangat murah serta sederhana dan tidak memakan waktu yang lama.
Dalam kasus sengketa lingkungan hidup Ketentuan Pasal 85 ayat 2 UUPPLH adalah dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup melalui jalan mediasi.Lebih lanjut penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:
1)      bentuk dan besarnya ganti rugi;
2)      tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
3)      tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
4)      tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi UUPPLH memberikan batasan tentang yuridiksi penyelesaian sengketa melalui jalur out of court settlement dimana terhadap sengketa lingkungan hidup yang masuk kategori tindak pidana lingkungan hidup tidak dapat diberlakukan.
Menurut penelitian David Nicholson, mediasi meskipun efektif dalam penyelesaian sengketa, namun mediasi juga membawa kelemahan yaitu kepatuhan para pihak untuk melaksanakan kewajiban yang telah disepakati dalam mediasi. Dalam beberapa kasus dalam lampiran tabel 3 dapat dilihat, meskipun para pihak yang melakukan mediasi telah sepakat dalam proses  jumlah ganti rugi dan recoveri lahan yang tercemar, akan tetapi dalam pelaksanaannya secara sepihak pihak pencemar membatalkan dan membayar uang ganti rugi dibawah jumlah yang disepakati dalam mediasi. Namun ketidakpatuhan salah satu pihak untuk melaksanakan hasil mediasi sifatnya hanya kasuistis, tidak semua kasus dapat dilakukan generalisasi, karena walaupun kesepakatan yang dilakukan diluar pengadilan, dalam beberapa kasus seperti kasus Kanasritex dan Kasus Sungai Tapak, pihak perusahaan melaksanakan komitmen yang telah disepakati dalam mediasi.
Efektifitas Mediasi sebagai sarana alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup, dipengaruhi oleh kemauan dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya melalui mediasi. Berdasarkan Penelitian Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan Bappenas, faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan para pihak menggunakan jalur Mediasi sebagai berikut:
a.      Dukungan Pemerintah
Keterlibatan Pemerintah baik pemerintah Pusat atau daerah dalam suatu sengketa lingkungan hidup membawa keuntungan dalam kaitannya membangun kepercayaan dari para pihak untuk bersedia menyelesaikan sengketa lingkungan hidup yang dihadapi.Dalam kasus Sibalec, Kanasritex, Sungai Tapak , Sungai Siak, Naga Mas, Samitex, Sungai Ciujung dan Sungai Sambong para pihak mendukung kehadiran pihak pemerintah untuk membantu menyelesaikan sengketa yang dihadapi dan bersedia untuk duduk melakukan mediasi yang di mediatori oleh Pejabat Pemerintah.
Pejabat Pemerintah Kota atau Kabupaten atas penugasan dari Walikota atau Bupati juga telah bertindak sebagai mediator dalam sengketa-sengketa lingkungan hidup.Mediasi yang dijalankan oleh pejabat kementerian lingkungan hidup dalam menyelesaikan kasus-kasus
sengketa lingkungan hidup, meskipun dalam jabaran tugas pokok dan fungsi Kementerian Lingkungan tidak ada ketentuan yang secara tegas menyebutkan bahwa lembaga ini berwenang menjalankan fungsi mediasi.
Ketika para penduduk korban pencemaran lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan mengadu kepada Kementerian Lingkungan Hidup tentang terjadinya kerugian lingkungan, pejabat di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup tidak serta merta menggunakan kewenangan sebagai pemerintah untuk menegakkan hukum secara top down, tetapi berusaha mencari penyelesaian win-win solusiondengan cara bertindak sebagai mediator yang memfasilitasi perundingan antara pihak pengadu dan pihak yang diadukan.
Pada kasus sengketa Lingkungan Hidup Kasus Tembok Dukuh, Surabaya 1991 misalnya Nabil Makarim yang menjabat sebagai Deputi I Meneg Lingkungan Hidup bertindak sebagai mediator dalam sengketa tersebut.

b.      Dukungan atau Pendampingan pihak Ketiga
Peran pihak ketiga untuk mendorong terciptanya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi. Dalam 4 ( empat ) kasus tersebut terlihat peran Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ), Pejabat Pemerintah, Media Massa yang bertindak sebagai alat penekan bagi pihak pencemar untuk bersedia melakukan mediasi. Keterlibatan LSM / Masyarakat dalam penegakan hukum lingkungan seperti disampaikan oleh Kusnadi Harjasumantri adalah suatu partisipasi aktif  dalam penegakan hukum karena dalam penegakan hukum masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan.
Dalam suatu sengketa lingkungan hidup, Lembaga Swadaya masyarakat memliki peran penting dimana selain sebagai suatu lembaga yang mengawasi (oversight body ) LSM juga bisa menjadi pihak yang memberikan dukungan atau dorongan kepada para pihak utamanya masyarakat korban dengan cara mewakili atau mendampingi korban pencemaran lingkungan hidup selama proses Mediasi.  mediator harus mampu Kehadiran LSM dalam mediasi tersebut agar pihak yang diwakili atau yang didampingi tersebut dalam hal ini korban pencemaran lingkungan mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan selama proses mediasi. Kehadiran LSM memberikan dorongan kepercayaan diri korban untuk terus menerus menjalani proses mediasi untuk mendapatkan hak-haknya.
Dalam proses mediasi, LSM tidak jarang bertindak sebagai penyetara antara salah satu pihak, akan tetapi juga bertindak sebagai advokasi untuk menyeimbangkan kekuatan manakala pihak mediator yang memiliki tugas untuk untuk meneyeimbangkan tidak menjalankan tugasnya dengan baik selama proses mediasi. Dalam penelitian Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan Bappenas, mengenai efektifitas penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia dari 17 kasus sengketa lingkungan hidup, 12 kasus diantaranya yaitu sengketa lingkungan hidup Palur Raya, KLI, KEM, Tawang Mas, Knasritex, Sumber sehat, Indoacidatama, Ciujung, Nagamas, Sungai Sombang, Sungai Siak, Tyafountex dan sungai Tapak masyarakat yang bersengketa dengan perusahaan-perusahaan tersebut telah didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat baik sebelum maupun selama proses mediasi.

c.       Pemberitaan Media
Suatu sengketa lingkungan hidup yang terjadi seringkali menarik perhatian pemberitaan. Cakupan media baik elektronik maupun cetak dimanfaatkan bagi para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan simpati dan dukungan. Protes-protes yang dilakukan oleh para korban pencemaran yanmg diliput oleh media secara terus menerus dapat mendorong pihak aparat untuk memaksa pihak perusahaan/ pihak pencemar untuk berunding menyelesaiakan masalah yang dihadapi. Perusahaan tidak ingin citra positif menjadi rusak karena pemberitaan dugaan pencemaran, sehingga untuk tetap menjaga citra positif kepada masyarakat konsumen maka lebih baik menyelesaiakan sengketa yang dihadapi daripada tetap berkonflik yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan sendiri.
d.      Keinginan Untuk Menjaga Hubungan Baik
Peran pemerintah untuk mendorong para pihak khususnya perusahaan untuk bersedia berunding selain tekanan opemerintah adalah keinginan dari perusahaan untuk menjaga hubungan baik dengan pemerintah. Budaya ewuh-pakewuh melahirkan kondisi dimana perusahaan dalam posisi sungkan karena selama ini pihak Pemerintah tidak melakukan tindakan atas pelanggaran atau pencemaran yang terjadi, maka untuk membalas sikap toleransi dari pemerintah agar hubungan tetap baik maka perusahaan bersedia untuk melakukan perundingan.
Bahwa disamping adanya faktor-faktor tersebut diatas, Penulis menemukan faktor lain yang mendorong para pihak bersedia untuik berunding ke meja mediasi yaitu adanya tekanan dari pihak Yudikatif. Tekanan pihak yudikatif untuk para pihak bersedia melakukan mediasi terjadi pada kasus Bhopal Leaks Gas yang terjadi di wilayah Bhopal di distrik Madyapradesh India. Dalam kasus Bhopal misalnya pertimbangan utama Mahkamah Agung India untuk menjadi mediator dan menawarkan solusi final atas masalah Bhopal adalah karena alasan kemanusiaan.Hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan MA India sebagai berikut: The supreme court considered it a compelling duty both judicial and humane to secure immediate relief to the victim.
Dalam proses pemeriksaan di tingkat Mahkama Agung, para pihak dalam sengketa Bhopal yaitu United of India selaku penggugat melawan United Carboine Corporation selaku pencemar dipanggil oleh Mahkamah Agung dan diarahkan untuk menerima penyelesaian secara mediasi. Dalam mediasi itu hakim pada Mahkamah Agung India menawarkan penyelesaian final melalui pembayaran ganti rugi sebesar USD.470.000.000 ( Empat ratus tujuh puluh juta dolar amerika serikat ) dan apabila para pihak setuju maka Mahkamah Agung akan membatalkan semua kasus terkait Bhopal baik gugatan perdata maupun pidana.
Bahwa atas proposal Mahkamah Agung tersebut, para pihak setuju untuk berdamai dan Mahkamah Agung India mengeluarkan Order (Perintah ) yang isinya mengenai jadwal pembayaran ganti rugi yang harus di bayarkan oleh UCC kepada Union of India.Jadwal penggunaan uang hasil ganti rugi yang di terima oleh Union of India kepada korban tragedi Bhopal. Mahkamah Agung India bahkan juga mengekuarkan Order D sebagai perintah Mahkamah Agung kepada pengadilan dibawahnya untuk menghentikan seluruh proses gugatan dan tuntutan pidana terkait tragedi Bhopal.
Bahwa melihat efektifitas mediasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup baik yang ada di Indonesia maupun di India, Mediasi merupakan model yang tepat dan efektif dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Penyelesaian win-win solution dalam Mediasi menjadi kelebihan dari model penyelesaian yang lain dimana kepentingan sedapat mungkin diakomodir sebagai hasil kesepakatan Mediasi. Kesediaan para pihak untuk menyelesaian persoalan secara damai dan menerima dan mengakomodir keinginan dari masing-masing pihak menjadikan Mediasi merupakan sarana yang tepat dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang berkeadilan, dan bahkan dalam sengketa lingkungan hidup yang memiliki dampak yang sangat besar  dan  kerugian  jiwa yang banyak seperti dalam kasus Bhopal, mediasi mampu memberikan solusi efektif penyelesaian sengketa.

B.     Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Mediasi di Dalam Pengadilan Maupun Di Luar Pengadilan Dikaitkan dengan Penegakan Hukum

Mediasi sebagai suatu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa menawarkan suatu mekanisme penyelesaian yang cepat. Mediasi yang pada awalnya merupakan mekanisme penyelesaian diluar pengadilan saat ini semakin berkembang yaitu mediasi tidak hanya dilakukan diluar pengadilan akan tetapi juga dapat dilakukan di dalam pengadilan.
Mediasi baik yang dilakukan di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri, sehingga patut untuk dapat diketahui dimana perbedaan dan persamaanya.
1.      Mediasi di dalam Pengadilan
Di IndonesiaProsedur mediasi di dalam pengadilan pertama kali dijamin keberadaannya dalam hukum di Indonesia pada tahun 2003 melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 02/2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan ini kemudian direvisi dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 01/2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Berdasarkan peraturan tersebut, sengketa lingkungan keperdataan termasuk sengketa yang apabila diajukan ke pengadilan wajib melalui prosedur mediasi. Apabila kesepakatan tidak tercapai dalam proses tersebut, maka penyelesaian sengketa dapat dilanjutkan ke proses litigasi. Sesuai Perma No.1 Tahun 2008, dalam setiap proses gugatan hakim harus mendorong para pihak untuk melakukan mediasi karena apabila hal tersebut diabaikan maka putusannya batal demi hukum.
Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada Hakim yang bersangkutan diberi waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 Tahun 1992. Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan ditandatangani, kemudian dibuatkan Akte Perdamaian (dading), agar dengan Akte Perdamaian itu para pihak dihukum untuk menepati apa yang disepakati atau disetujui bersama. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator/mediator. Namun SEMA tersebut dapat dikatakan tidak berhasil, karena pada hakekatnya hakim bukan mediator yang baik dan ada keengganan hakim melakukan proses mediasi.
Mediasi mendapat kedudukan penting dalam Perma No. 1 Tahun 2008, karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat 3 Perma No. 1 Tahun 2008). Oleh karenanya, hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Dalam ketentuan Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan bahwa, “perkara yang dapat diupayakan melalui mediasi adalah kecuali perkara yang diselesaikan melalui pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan tingkat pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.”
Perma No. 1 Tahun 2008 memberikan peluang perdamaian bagi para pihak bukan hanya untuk tingkat pertama, tetapi juga untuk tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. Dalam ketentuan Pasal 21 disebutkan bahwa, para pihak atas dasar kesepakatan mereka dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang diproses banding, kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan tingkat pertama yang mengadili, dan ketua pengadilan tingkat pertama segera memberitahukan kepada ketua pengadilan tingkat banding yang berwenang, atau ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian. Majelis hakim pemeriksa tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara selama 14 (empat belas) hari kerja, sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.
Perdamaian terhadap perkara dalam proses banding, kasasi atau peninjauan kembali dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut pada tingkat pertama atau di tempat lain atas persetujuan para pihak. Para pihak melalui ketua pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dicatat dalam register induk perkara.
Dalam fase mediasi di pengadilan, para pihak dengan di dorong oleh hakim harus memanfaatkan secara maksimal mediasi tersebut. Akan tetapi dalam praktek seringkali hal tersebut tidak dimaksimalkan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan para pihak dalam sengketa tidak memanfaatkan mediasi didalam pengadilan secara sungguh-sungguh yaitu pertama sikap skeptis dari para pihak terhadap perdamaian yang dilakukan dalam proses mediasi yang terintegrasi dengan pengadilan, kedua adanya rasa gensi dan ingin menang sendiri, ketiga para pihak menganggap proses mediasi hanya formalitas belaka dan yang kelima bahwa para pihak dan hakim menganggap bahwa proses mediasi hanya membuang waktu.
Dalam praktek salah satu pengalaman  sukses mediasi di Pengadilan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup adalah dalam kasus Bhopal di India. Mahkamah Agung dalam posisi aktif untuk mendorong terjadinya mediasi dan pencapaian kesepakatan dimana saat proses pemeriksaan, tahun 1989  Mahkamah Agung India bertindak selaku mediator menawarkan penyelesaian final yaitu tentang besaran ganti rugi yang harus dibayar oleh UCC adalah US$.470.000.000 dan pembatalan seluruh gugatan perdata dan penuntutan kepada para pelaku pencemaran.
Dalam kasus Bhopal tersebut, inisiatif untuk membuka mediasi dilakukan oleh Mahkamah Agung India di tengah pemeriksaan di tingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Hakim yang menagani kasus tersebut secara aktif mengambil peran dengan menawarkan jumlah kompensasi kepada kedua belah pihak apakah akan disetujui atau tidak. Pengalaman India dalam kasus Bhopal ini menjadi suatu pembelajaran bahwa dalam mediasi Hakim mediator memiliki peran yang sangat penting dalam penyelesaian sengeta tersebut dan dalam pelaksanaan tugasnya,  hakim Mediator harus mengambil inisiatif dan mampu membuat proposal yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Pengalaman penyelesaian sengketa dalam kasus Bhopal juga merupakan suatu faktor baru dimana tekanan Yudikatif menjadi salah satu faktor yang mendorong keberhasilan penggunaan mediasi sebagai sarana altenatif penyelesaian sengketa.
Dalam pengalaman mediasi di pengadilan Indonesia seringkali dianggap sebagai formalitas belaka, Menurut I Made Sukadana terdapat beberapa faktor yang menyebabkan para pihak dalam sengketa tidak memanfaatkan mediasi didalam pengadilan secara sungguh-sungguh yaitu pertama sikap skeptis dari para pihak terhadap perdamaian yang dilakukan dalam proses mediasi yang terintegrasi dengan pengadilan, kedua adanya rasa gengsi dan ingin menang sendiri, ketiga para pihak menganggap proses mediasi hanya formalitas belaka dan yang kelima bahwa para pihak dan hakim menganggap bahwa proses mediasi hanya membuang waktu.
Jika mediasi di Pengadilan dimanfaatkan dengan maksimal oleh para pihak yang bersengketa maka akan sangat membantu dalam percepatan penyelesaian sengketa lingkungan hidup karena sengketa dapat diselesaiakan tanpa harus melalui tahapan-tahapan menurut hukum acara dan dengan demikian maka perbaikan kepada lingkungan dan korban dapat segera dilakukan.
2.      Mediasi di Luar Pengadilan
Berbeda dengan mediasi yang dilakukan dalam proses pengadilan, Mediasi yang dilakukan di luar pengadilan difasilitasi oleh lembaga penyelesaian sengketa atau pihak lain yang bertindak sebagai mediator. Proses penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan cara menggunakan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup menurut Peraturan Pemerintah No. 54/2000, dapat mengajukan laporan atau pengaduan kepada instansi yang terkait di bidang pengadilan atau pengelolaan lingkungan hidup dalam hal terjadinya perusakan atau pencemaran lingkungan hidup. Instansi yang menerima pengaduan tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari wajib melakukan verifikasi tentang pengaduan tersebut, yang kemudian hasil verifikasi tersebut disampaikan kepada lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga jasa yang menerima permohonan bantuan tersebut dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi wajib mengundang para pihak yang bersengketa.
Proses mediasi yang dilakukan oleh penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, tetap memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa untuk bebas menunjuk mediator dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk. Kesepakatan yang dibuat oleh para pihak sebelum memulai proses mediasi dimulai memuat perihal sebagai berikut :
1.        Masalah yang dipersengketakan;
2.        Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
3.        Nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
4.        Tempat para pihak melaksanakan perundingan;
5.        Batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa;
6.        Pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya;
7.        Pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa untuk menanggung biaya;
8.        Larangan pengungkapan dan/atau pernyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi;
9.        Kehadiran pengamat, ahli dan/atau narasumber;
10.    Larangan pengungkapan informasi tertentu dalam proses penyelesaian sengketa secara musyawarah kepada masyarakat;
11.    Larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan.
Sedangkan ketika proses mediasi telah berakhir dan mencapai suatu kesepakatan, maka hal tersebut harus dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang berisikan hal-hal sebagai berikut :
1.        Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
2.        Nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
3.        Uraian singkat sengketa;
4.        Pendirian para pihak;
5.        Pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga lainnya;
6.        Isi kesepakatan;
7.        Batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan;
8.        Pihak yang melaksanakan isi kesepakatan.
Kesepakatan tersebut ditulis di atas kertas bermaterai dan ditanda tangani oleh para pihak beserta mediator atau pihak ketiga lainnya yang terlibat dalam proses mediasi tersebut. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak ditanda tanganinya kesepakatan tersebut, maka salinan otentik wajib  didaftarkan oleh mediator atau pihak lainnya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Dalam suatu sengketa lingkungan hidup, Lembaga Swadaya Masyarakat memliki peran penting, dimana kehadiran LSM dalam mediasi tersebut agar pihak yang diwakili atau yang didampingi tersebut dalam hal ini korban pencemaran lingkungan mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan selama proses mediasi. Kehadiran LSM memberikan dorongan kepercayaan diri korban untuk terus menerus menjalani proses mediasi untuk mendapatkan hak-haknya.
Dalam proses mediasi, menginggat pihak korban sering kali mempunyai kondisi baik secara ekonomi maupun politis dibawah pihak perusahaan, LSM membantu para korban tersebut agar percaya diri dalam melakukan mediasi dengan pihak perusahaan. Dalam 17 kasus sengketa lingkungan hidup yang diteliti, 12 kasus diantaranya yaitu sengketa lingkungan hidup Palur Raya, KLI, KEM, Tawang Mas, Knasritex, Sumber sehat, Indoacidatama, ciujung, Nagamas, Sungai Sombang, Sungai Siak, Tyafountex dan sungai Tapak masyarakat yang bersengketa dengan perusahaan-perusahaan tersebut telah didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat baik sebelum maupun selama proses Mediasi.
Disamping LSM, dalam beberapa kasus, terdapat peran pejabat Pemerintah Kota atau Kabupaten atas penugasan dari Walikota atau Bupati juga telah bertindak sebagai mediator dalam sengketa-sengketa lingkungan hidup. Mediasi yang dijalankan oleh pejabat kementerian lingkungan hidup dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa lingkungan hidup, meskipun dalam jabaran tugas pokok dan fungsi Kementerian Lingkungan tidak ada ketentuan yang secara tegas menyebutkan bahwa lembaga ini berwenang menjalankan fungsi mediasi, namun ketika para penduduk korban pencemaran lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan mengadu kepada Kementerian Lingkungan Hidup tentang terjadinya kerugian lingkungan, pejabat di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup tidak serta merta menggunakan kewenangan sebagai pemerintah untuk menegakkan hukum secara top down, tetapi berusaha mencari penyelesaian win-win dengan cara bertindak sebagai mediator yang memfasilitasi perundingan antara pihak pengadu dan pihak yang diadukan, yakni untuk membahas solusi-solusi yang dapat dihasilkan.
Walaupun efektif dalam penyelesaian sengketa, Mediasi juga membawa kelemahan yaitu kepatuhan para pihak untuk melaksanakan kewajiban yang telah disepakati dalam mediasi, dalam kasus PT.SSS misalnya walaupun telah sepakat dalam proses Mediasi terkait jumlah ganti rugi, akan tetapi dalam pelaksanaannya secara sepihak membatalkan dan membayar uang ganti rugi dibawah jumlah yang disepakati dalam mediasi. Ketidakpatuhan salah satu pihak untuk melaksanakan hasil mediasi sifatnya hanya kasuistis, tidak dapat dilakukan generalisasi, karena walaupun kesepakatan yang dilakukan di luar pengadilan, dalam beberapa kasus seperti kasus Kanasritex dan Kasus Sungai Tapak, pihak perusahaan melaksanakan komitmen yang telah disepakati dalam mediasi.
Disamping memberikan dorongan untuk terciptanya Mediasi yang sehat, pihak ketiga kadang kala justru kontra produktif dan mencederai semangat musyawarah untuk mufakat., misalnya dalam kasus Tembok dukuh misalnya, pejabat pemerintah justru menjadi  alat penekan bagi korban untuk menerima jumlah kompensasi yang ditawarkan oleh pencemar, walaupun pejabat pemerintah daerah mendukung proses mediasi akan tetapi disatu sisi juga menekan agar warga menerima jumlah kompensasi.
Penegakan hukum lingkungan menurut pandangan para ahli berbagai macam pandangan diantaranya menurut Mas Achmad Santosa, untuk mencapai penataan, penegakan hukum bukanlah satu-satunya cara, berbagai cara atau pendekatan dapat dilakukan antara lain melalui instrumen ekonomi, edukasi, bantuan teknis dan tekanan publik (public pressure). Pendekatan penataan dapat ditempuh melalui pendekatan Command And Control (CAC) atau atur dan awasi (ADA), pendekatan ekonomis, pendekatan perilaku (behaviour), dan pendekatan pendayagunaan tekanan publik (public pressure).
Menurut F.P.C.L. Tonnaeer, membedakan tiga macam bentuk penegakan hukum, yaitu administratief rechttelijke handhaving (penegakan hukum administrasi), strafrechtelijke handaling (penegakan hukum pidana), dan privaatrechtelijke (penegakan hukum perdata).
Menurut Daud Silalahi, bahwa penegakan hukum lingkungan di Indonesia ini mencakup penataan dan penindakan (compliance and enforcement). Oleh karena itu program penegakan hukum lingkungan nasional mencakup :
a.    Pengembangan sistem penegakan hukum.
b.    Penataan kasus-kasus prioritas yang perlu diselesaikan secara hukum.
c.    Peningkatan kemampuan aparat penegak hukum.
d.   Peninjauan kembali Undang-undang Gangguan.

Menurut Keith Hawkins, penegakan hukum dapat dilihat dari dua sistem atau strategi, yang disebut compliance (pemenuhan) dengan concilatory style (perdamaian) sebagai karakteristiknya dan sanctioning (sanksi) dengan penal style (penghukuman) sebagai karakteristiknya.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan dalam penegakan hukum lingkungan hidup  bukan semata-mata  dalam penegakan berupa penindakan atau sanksi tapi dapat juga dengan penataan yang berbentuk conciliatory style (yang bersifat mendamaikan). Disamping itu juga menciptakan kondisi ramah tamah antar pihak untuk mencari penyelesaian atas sengketa yang terjadi secara musyawarah. Kondisi psikologis yang jauh dari rasa permusuhan menghadirkan kondisi saling pengertian dan bijaksana dalam penyelesaian masalah sehingga yang  timbul adalah kejujuran untuk menciptakan keadilan dengan menyamakan persepsi dalam mencari solusi terhadap lingkungan yang telah rusak dan tercemar, karena untuk ekosistem yang telah rusak dan tercemar tidak ada tindakan yang paling bermanfaat kecuali memperbaiki lingkungan dan mencegah terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan kembali.
Sehingga dapat dikatakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan mediasi merupakan bagian dari penegakan hukum lingkungan yang efektif dapat diterapkan, terlebih lagi aturan tentang penyelesaian secara mediasi telah tersurat dalam UU PPLH No. 32 tahun 2009.Jika melihat statistik keberhasilan penyelesaian sengketa lingkungan hidup  secara mediasi dengan litigasi lebih baik dan efektif yang dilakukan secara mediasi. Oleh karena itu kedepannya sudah dapat diatur oleh aturan hukum perundang-undangan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara mediasi bagian dari penegakan hukum lingkungan hidup, baik yang dilakukan di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan.

3.      KONSEP MEDIASI SEBAGAI SARANA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Bahwa mengacu pada teori keadilan yang disampaikan oleh Rawls dan teori Hukum Pembangunan serta teori penegakan hukum yang dipadukan hukum lingkungan sebagaimana telah diuraikan dalam BAB I dimana dalam penyelesaian sengketa lingkungan dapat diselesaiakan dengan win win solusion, dengan prinsip siapa yang melakukan pencemaran maka dia yang akan mengganti biaya pencemarannya, sehingga akan mendukung terwujudnya kesejahteraan umum dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pemasukan dibidang industri baik migas maupun non migas dalam pembangunan berkelanjutan.
Bahwa dengan penyelesaian secara mediasi tidak ada saling tunding menunding dari para pihak yang bersengketa, namun yang ada akan  timbul adalah kejujuran untuk menciptakan keadilan dengan menyamakan persepsi dalam mencari solusi terhadap lingkungan yang telah rusak dan tercemar, karena untuk ekosistem yang telah rusak dan tercemar tidak ada tindakan yang paling bermanfaat kecuali memperbaiki lingkungan dan mencegah terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan kembali.
Disamping itu dengan penyelesaian melalui Mediasi akan didapatkan hasil yang maksimal dengan waktu yang minimal sehingga dapat memberikan recovery kepada korban dan lingkungan. Dengan adanya recovery yang cepat terhadap lingkungan maka akan menjaga keberlangsungan ( sustainability )dari lingkungan sendiri sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk kepentingan pembangunan. Melihat efektifitas dari Mediasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan, maka perlu di dorong agar supaya Mediasi menjadi mekanisme utama dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup termasuk sengketa lingkungan hidup yang termasuk dalam kategori pidana dengan cara menerapkan sistem mediasi penal.
Konsep Mediasi yang dijadikan model utama adalah konsep mediasi final settlement yang diterapkan oleh India dalam Kasus Bhopal, dimana penyelesaian model Bhopal tersebut dapat memberikan penyelesaian yang cepat, final dan menghasilkan kepastian hukum bagi semua pihak. Konsep Mediasi dalam kasus Bhopal juga sesuai dengan konsep keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls dimana dalam penyelesaian tersebut semua pihak dengan segala kejujuran menciptakan keadilan dengan menyamakan persepsi dalam mencari solusi terhadap pencemaran yang terjadi di Bhopal tersebut baik recovery terhadap korban maupun recovery terhadap lingkungan. Disamping itu model  Bhopal tersebut juga membawa para pihak menjadi saling memaafkan dimana pihak korban bersedia untuk tidak melakukan gugatan maupun penuntutan kepada para pelaku setelah mereka menerima hasil mediasi walaupun dalam peristiwa tersebut jatuh korban yang sangat banyak serta kerusakan lingkungan yang besar.
Konsep mediasi Bhopal tersebut juga mencakup konsep Mediasi Penal, dimana penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang berkategori pidana diselesaikan dengan mediasi dan pembatalan penuntutan. Mediasi penal dengan mengesampingkan penuntutan pidana bukan hal yang baru dalam penegakan hukum di Indonesia karena system ini pernah diterapkan dalam penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ( BLBI ). Dalam kasus BLBI pemerintah memutuskan untuk menyelesaikan masalah BLBI tersebut memalui mekanisme out of court settlement seperti dikehendaki International Monetary Fund ( IMF ). Mekanisme yang ditenpuh pemerintah saat itu adalah Penyelesaian melalui jaminan asset ( Master Settlement and Acquisition Agreement/ MSAA ) dan penyelesaian melalui jaminan pribadi dan asset. Hal yang terpenting dalam penyelesaian tersebut adalah pemerintah mengesampingkan penuntutan dari Debitur atas pelanggaran praktek perbankan jika debitur tersebut yang bersedia menyelesaikan masalah Bantuan Likuiditas bank Indodnesia melalui salah satu dari 2 ( dua ) mekanisme tersebut.
Konsep penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang ditawarkan adalah menitikberatkan kepada peran besar pemerintah sebagai regulator serta didukung oleh pihak lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Media massa yang bertindak selaku kekuatan penekan dan pengadilan sebagai kekuatan penekan terakhir dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
Konsep penyelesaian sengketa yang ditawarkan menggunakan pendekatan tahapan ( fase ) dimana, sedapat mungkin penyelesaian sengketa lingkungan hidup diselesaian pada masa awal sehingga lebih menghemat waktu dan mempercepat pemulihan baik kepada lingkungan maupun kepada korban. Disamping itu Mediasi dapat dilaksanakan pada masa kapanpun, bahkan apabila sengketa lingkungan hidup tersebut nantinya diselesaikan di pengadilan, usaha mediasi tidak hanya pada masa awal pemeriksaan perkara di tingkat Pengadilan Negeri, akan tetapi dalam masa upaya hukum ( banding, kasasi, Peninjauan kembali ) upaya mediasi tetap dapat dilaksanakan.
Penciptaan model mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang lebih efektif merupakan salah satu bentuk penggunaan hukum sebagai control dan menjadi kepastian bagi masyarakat dalam menciptakan keseimbangan dan keserasian antara pembangunan mencapai taraf kesejahteraan dan kemakmuran dengan pemamfaatan sumber daya alam yang ada sehingga hukum dapat diarahkan untuk mencapai suatu pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan sehingga terwujudnya suatu pembangunan yang berkelanjutan.
Penggunaan model mediasi yang ditawarkan sebagai pilihan utama untuk menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup diharapkan dapat merubah pola berfikir para pihak untuk dapat menyelesaikan suatu sengketa secara damai, cepat dan berbiaya murah melalui mediasi dibanding melalui jalur litigasi yang selama ini menjadi tumpuan utama untuk menyelesaiakan sengketa. Dalam kondisi demikian hukum ditempatkan tidak hanya sebagai alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat akan tatapi hukum juga digunakan untuk membantu proses perubahan masyarakat.

1.         Penyelesaian Sengketa Lingkungan dengan Mediasi di luar Pengadilan.

Konsep penyelesaian yang ditawarkan adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui tahapan-tahapan secara berjenjang, dengan menitik beratkan kepada penyelesaian non litigasi dan penyelesaian litigasi adalah jalan terakhir manakala seluruh proses non litigasi telah ditempuh dan mengalamai kegagalan.
Penyelesaian sengketa lingkungan hdup fase pertama ini adalah suatu proses pencarian fakta atas pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang bertanggungjawab terhadap masalah lingkungan baik pusat maupun daerah yang dilakukan segera setelah mendapatkan informasi atau pengaduan dari masyarakat atas terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Pada proses pencarian fakta tersebut, pihak pemerintah diberikan wewenang untuk memanggil pihak-pihak yang terkait, mengambil sample limbah serta kewenangan lain yang diperlukan untuk mengungkap ada atau tidaknya pencemaran lingkungan seperti yang di laporkan.
Selanjutnya setelah melakukan pencarian fakta dan mendapatkan kesimpulan, apabila ditemukan pencemaran seperti yang dilaporkan maka Pemerintah Daerah atau Pusat sebagai regulator akan melakukan kalkulasi kerugian serta recovery yang diperlukan untuk memulihkan lingkungan yang tercemar tersebut. Hasil pemeriksaan yang didalamnya terdapat faktafakta hasil pemeriksaan serta estimasi biaya pemulihan baik kepada korban maupun lingkungan diserahkan oleh pihak pemerintah kepada pihak yang diduga melakukan pencemaran serta disertai peringatan kepada pencemar tersebut. Selanjutnya apabila pihak yang diduga melakukan pencemaran menerima hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pemerintah termasuk dalamnya menerima kewajiban untuk membayar kerugian serta recovery atas lingkungan yang tercemar maka akan dibuat Akta Pernyataan Menerima Hasil Pemeriksaan Lingkungan sebagai bukti penerimaan pihak pencemar atas hasil pemeriksaan dugaan pencemaran lingkungan hidup. Dengan penerimaan hasil tersebut maka permasalahan dianggap selesai dan proses selanjutnya adalah pelaksanaan dari perintah yang harus dilakukan oleh pihak pencemar sebagaimana telah tercantum dalam hasil  pemeriksaan.
Begitu juga sebaliknya jika pihak yang diduga pencemar tidak menerima hasil pemeriksaan, maka Pemerintah akan meminta kepada pihak pencemar dan masyarakat ( korban ) untuk menyelesaiakna sengketa tersebut melalui mediasi, Para pihak diberikan keleluasaan untuk menunjuk mediator. Dalam kondisi demikian pihak pemerintah selaku regulator yang memiliki kewenangan untuk memberikan ijin operasional kepada suatu perusahaan akan mengunakan kewenangan tersebut untukbertindak sebagai penekan kepada para pihak untuk bersedia bermediasi menyelesaiakan sengketa yang dihadapi. Jika pihak pencemar tetap tidak bersedia untuk menyelesaiakan melalui mediasi, maka pemerintah akan mencabut ijin operasional dari perusahaan. Tekanan pemerintah dalam bentuk pencabutan ijin tersebut sangat efektif dan memberikan efek deteren yang sangat besar, karena dengan dicabutnya ijin operasi menjadikan perusahaan tidak dapat menjalankan aktifitas produksi sehingga dari sisi keuangan akan merugikan.
 Skema penyelesaian sengketa fase pertama dapat divisualisasikan dalam gambar berikut ini:

Pada penyelesaian fase pertama ini seluruh proses masih bersifat administrative tanpa melibatkan pengadilan serta dilakukan pada fase awal timbulnya sengketa yang diakibatkan adanya pencemaran lingkungan dan di harapkan tercapai penyelesaian yang cepat sehingga pemulihan baik korban maupun ligkungan dapat segera dilakukan.

2.      Penyelesaian Sengketa Lingkungan Dengan Mediasi Melalui Pengadilan

Penyelesaian sengketa lingkungan melalui mediasi di pengadilan merupakan fase kelanjutan dari fase pertama dimana pihak pencemar tidak bersedia untuk menerima hasil pemeriksaan lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah dan tidak bersedia melakukan mediasi. Maka penyelesaian yang dilakukan melalui gugatan di pengadilan.
Sesuai Perma No.1 Tahun 2008, dalam setiap proses gugatan hakim harus mendorong para pihak untuk melakukan mediasi karena apabila hal tersebut diabaikan maka putusannya batal demi hukum. Seperti dalam Kasus Bhopal misalnya, Pengadilan dalam posisi aktif untuk mendorong terjadinya mediasi dan pencapaian kesepakatan, sehingga yang harus diubah adalah tindakan dari hakim mediasi dari posisi pasif menjadi posisi aktif. Dalam kasus Bhopal, pada saat proses pemeriksaan, tahun 1989  Mahkamah Agung India bertindak selaku mediator menawarkan penyelesaian final yaitu tentang besaran ganti rugi yang harus dibayar oleh UCC adalah US$.470.000.000 dan pembatalan seluruh gugatan perdata dan penuntutan kepada para pelaku pencemaran..
Menurut I Made Sukadana terdapat beberapa faktor yang menyebabkan para pihak dalam sengketa tidak memanfaatkan mediasi didalam pengadilan secara sungguh-sungguh yaitu pertama sikap skeptis dari p[ara pihak terhadap perdamaian yang dilakukan dalam proses mediasi yang terintegrasi dengan pengadilan, kedua adanya rasa gensi dan ingin menang sendiri, ketiga para pihak menganggap proses mediasi hanya formalitas belaka dan yang kelima bahwa para pihak dan hakim menganggap bahwa proses mediasi hanya membuang waktu.
Maka untuk mencegah apa yang disampaikan oleh I Made Sukadana tersebut, hal yang harus diubah dalam mekanisme mediasi yang dilakukan didalam pengadilan adalah sikap para pihak dan hakim bahwa proses mediasi bukanlah hanya masalah prosedural hukum acara yang harus ditempuh akan tetapi suatu proses penting yang harus ditempuh secara sunggguh-sungguh untuk menyelesaiakan sengketa secara lebih cepat, sederhana dan berbiaya murah. Disamping itu sedapat mungkin dalam mediasi,  hakim mediasi melakukan upaya aktif dan mampu membuat proposal penyelesaian yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa, yang terpenting dalam sengketa lingkungan hidup, hakim dalam membuat proposal mediasi harus lebih memberikan perhatian atas masalah recovery lingkungan yang telah tercemar dan korban. Sebagai perbandingan dalam kasus Bhopal misalnya, salah satu alasan Mahkamah Agung India memawarkan solusi final dalam mediasi adalah recovery terhadap korban dan lingkungan yang telah tercemar.
Proses mediasi di Pengadilan mekanisme sama seperti mediasi yang selama ini telah ada dimana mediasi harus ditempuh sebelum pemeriksaan perkara dimulai, namun perbedaan yang mendasar dalam proses ini hakim akan berperan aktif dalam mengarahkan para pihak untuk medisi dan bahkan hakim dapat menggunakan kewenangannya untuk dapat menekan pihak yangb melakukan pencemaran agar masuk ke dalam penyelesaian secara mediasi. Sehingga jika mediasi ini dapat dijalankan maka hakim dapat memberikan putusan untuk perkara-perkara lain yang menyangkut dalam perkara pencemaran ini dapat dicabut atau dibatalkan oleh pihak tercemar atau pihak yang dirugikan.
Jika mediasi gagal dicapai kesepakatan, maka proses litigasi baru dapat dilaksanakan. Dalam proses upaya hukum, pintu mediasi masih dapat dilaksanakan, dimana inisiatif dapat dilakukan oleh para pihak atau hakim pada tingkat upaya hukum. Dalam kasus Bhopal misalnya, walaupun telah gagal dalam proses awal dan para pihak telah menempuh upaya litigasi dalam tingkat pengadilan Distrik dan Pengadilan Tinggi, pada saat pemeriksaan kasasi, Mahkamah Agung India membuka kembali pintu mediasi dan menawarkan solusi penyelesaian yang akhirnya diterima oleh kedua belah pihak.
Dalam proses mediasi di pengadilan ini, apabila tercapai kesepakatan maka akan dibuatkan Penetapan Pengadilan dan apabila sengketa lingkungan hidup tersebut masuk dalam berkategori pidana, maka hasil kesepakatan tersebut menjadi dasar penghentian tuntutan pidana. Melalui mekanisme tersebut diharapkan sengketa lingkungan hidup dapat diselesaikan dengan cepat sehingga tercapai suatu harmoni sosial yaitu tiada lagi permusuhan, lingkungan dan dapat segera dipulihkan dan pembangunan ekonomi tetap berjalan.
Bilamana kedua model mediasi ini dapat diterapkan dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan hidup maka wadah mediasi dapat menjadi pilihan utama dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan bukan sebagai alternatif pilihan.
Dengan demikian model mediasi yang dikembangkan akan menjadi model mediasi sebagai berikut :
1)      Mediasi yang dapat memiliki kemampuan untuk menjadi pilihan penyelesaian sengketa yang menarik bagi masyarakat, yang prosedur mediasi tersebut bersifat fleksibel, cepat dan murah serta dapat terbebas dari korupsi dan kolusi.
2)      Mediasi yang mempunyai kemampuan sebagai wadah peran serta masyarakat dalam penyelesaian sengketa dan wadah permusyawaratan, permufakatan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
3)      Mediasi yang memiliki kemampuan untuk mengakomodir berbagai kepentingan pihak-pihak yang bersengketa, secara adil dan merata sehingga dapat melahirkan kesepakatan atau hasil yang bersifat “menang-menang”.
4)      Mediasi yang diupayakan semaksimal mungkin merupakan refleksi dari akar budaya masyarakat Indonesia.
5)      Mediasi yang akanmenjadi bagian dalam penegakan hukum penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia.

3.      Penerapan Mediasi Penal atas kasus Sengketa Lingkungan hidup yang termasuk kategori Pidana.

Bahwa dalam rezim Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Indonesia penyelesaian sengketa lingkungan hidup selain dilakukan melalui jalur pengadilan juga didorong adanya penyelesaian yang dilakukan diluar pengadilan salah satunya melalui Mediasi.
Seperti diuraikan dalam kasus Bhopal diatas bahwa mediasi ternyata cukup efektif dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidupo bahkan untuk suatu pencemaran lingkungan hidup yang terjadi secara massive baik korban maupun kerusakan lingkungannya. Seperti dijelaskan diatas bahwa rezim perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia memberikan batasan tentang sengketa lingkungan hidup yang dapat diselesaikan diluar pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 84 ayat (1) UU PPLH No.32 Tahun 2009.
Adanya pembatasan tersebut menjadikan Mediasi sebagai salah satu bentuk alternative penyelesaian sengketa hanya dapat diterapkan dalam hal terkait masalah keperdataan seperti ganti rugi, sengketa lingkungan hidup mempunyai kategori pidana tidak diberikan ruang untuk diselesaikan dengan jalan mediasi.
Melihat keberhasilan dalam kasus Bhopal dimana penyelesaian dilakukan dengan mediasi, maka penulis mengusulkan untuk menerapkan sistem mediasi penal untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam kategori pidana. Pilihan ini tidak lepas dari pemikiran bahwa dalam penyelesaian sengketa lingkungan baik yang masuk dalam kategori pidana harus mengedepankan pada aspek recovery korban dan lingkungan. Tindakan yang harus dilakukan adalah melakukan amandemen Undang-Undang Lingkungan hidup khususnya terkait penyelesaian pencemaran lingkungan hidup, dimana tidak perlu lagi adanya pembatasan materi  atau masalah yang dapat diselesaikan diluar pengadilan sebagaimana Pasal 84 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009. Terkait pasal Pasal 85 ayat (2) yang memberikan batasan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui out of court settlement tidak sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam kategori tindak pidana, penulis mengusulkan agar dimasukkannya aturan bahwa dimungkinkannya penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam ketegori pidana untuk diselesaikan melalui Mediasi.
Penyelesaian masalah pidana melalui mediasi telah diterima dalam praktek penegakan hukum, seperti disampaikan oleh Susanti Adi Nugroho bahwa telah banyak Negara-negara di Uni Eropa yang menggunakan mediasi dalam penyelesaian kasus-kasus pidana. Mediasi untuk kasus sengketa lingkungan hidup yang masuk kategori pidana dapat dilakukan dengan persyaratan bahwa Pelaku bersedia memberikan santunan, ganti rugi dan pemulihan kepada korban dan recovery terhadap lingkungan serta membayar dengan maksimal yang ditentukan undang-undang dan mengakui bersalah atas terjadinya peristiwa pencemaran lingkungan tersebut. Syarat yang kedua adalah adanya persetujuan dari korban atau ahli waris korban untuk tidak dilakukannya penuntutan kepada Pelaku.
Menurut Penulis agar tidak menimbulkan kesan penghilangan aspek pidana maka mekanisme mediasi penal tersebut dilakukan dalam fase Penyidikan. Pihak yang menjadi mediator dapat dilakukan oleh Penyidik ataupun pihak lain yang memilki kompetensi sebagai Mediator masalah sengketa lingkungan hidup. Jika dalam mediasi tercapai kesepakatan maka Penyidik akan mengajukan permohonan penghentian sementara proses penyidikan kepada Penuntut Umum dengan disertai hasil kesepakatan yang dihasilkan. Atas permintaan Penyidik tersebut selanjutnya Penuntut Umum akan meneliti apakah kesepakatan Mediasi yang dicapai tersebut memenihi kriteria yang di tentukan oleh undang-undang, jika memenuhi syarat maka Penuntut Umum akan memberikan persetujuan penghentian sementara penyidikan dan selanjutnya mengirimkan permohonan persetujuan penghentian sementara penyidikan kepada Pengadilan Khusus Lingkungan Hidup. Demikian sebaliknya jika hasil kesepakatan yang dicapai oleh dalam Mediasi tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang maka Penuntut Umum akan mengembalikan permohonan penyidik tersebut dan meminta agar dilakukan mediasi ulang agar kesepakatan yang didapatkan mememuhi persyaratan undang-undang.
Alasan lain di  mekanisme tersebut dilakukan pada saat penyidikan adalah agar tetap dapat dilakukannya upaya paksa seperti tindakan cegah untuk menghindarkan melakukan upaya melarikan diri, adanya penyitaan dan pembekuan asset-asset dari pelaku untuk mencegah mengalihan asset-aset.
Dalam mekanisme tersebut diperlukan pembuatan time frame penyelesaian. Jika pelaku dalam waktu yang telah ditentukan tidak dapat menyelesaian kewajibannya maka tindakan pidana dalam hal ini penuntutan dapat segera dilaksanakan. Sebaliknya jika pelaku dapat segera menyelesaikan seluruh kewajibannya tepat waktu sesuai dengan time frame yang ditentukan maka Penyidik menyerahkan berkas perkara kasus pencemaran lingkungan tersebut ke Penuntut Umum dan atas kewenangan yang dimiliki untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum sesuai Pasal Pasal 35 huruf c UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Jaksa Agung melakukan pengesampingan perkara demi kepentingan hukum dan Penuntut Umum mengirimkan permohonan persetujuan pengesampingan perkara kepada Pengadilan Khusus Lingkungan Hidup atas permohonan tersebut Pengadilan Lingkungan Hidup menerbitkan Penetapan Persetujuan Pengesampingan Perkara.
Bahwa menurut punulis dengan menerapkan mekanisme penyelesaian diluar pengadilan untuk kasus-kasus sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam kategori pidana dan menerapkan penuntutan di pengadilan apabila pleaku gagal melaksanakan kewajiban yang telah disanggupi maka ketentuan pidana merupakan pilihan terakhir dari penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
Untuk mencegah terjadinya tuntutan hukum yang lain kepada pelaku yang telah dengan itikad baik  untuk menyelesaian di luar pengadilan dengan mediasi serta kepastian hukum maka maksnisme tersebut perlu dilengkapi dengan instrument hukum atau ketentuan dimana atas suatu sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam kategori pidana dan telah diselesaikan melalui Mediasi dan dilakukan penghentian penuntutan tidak dapat diajukan pembatalan dan gugatan perdata.


4.      Mediasi Dalam Sengketa Lingkungan Hidup dengan Negara.

Sengketa lingkungan hidup tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan perusahaan, atau antara individu dengan kelompok bisnis, tetapi juga bisa terjadi antara masyarakat dengan Negara. Sengketa ini terjadi terkait dengan kewenangan Negara dalam pemberian ijin-ijin usaha atau ijin-ijin pelaksanaan eksploitasi Sumber Daya Alam yang dalam pelaksanaannya membuat terjadinya kerusakan lingkungan atau terkait dengan penegakan hukum administrasi dibidang lingkungan hidup.
Jika membandingkan dengan India dimana jika terdapat sengketa terkait pemberian izin-izin usaha atau izin-izin pelaksanaan eksploitasi Sumber Daya Alam didaerah yang seharusnya tidak boleh didirikan industri mekanisme yang ditempuh oleh masyarakat atas sengketa lingkungan dengan Negara dapat dilakukan melalui  National Environment Appellate Authority atau mengajukan Writ kepada Mahkamah Agung .
Di indonesia selama ini proses sengketa administrasi diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, akan tetapi dalam prosesnya di persidangan tidak terdapat mekanisme mediasi antara Pejabat tata usaha Negara dengan pihak Pemohon. Bahkan dalam fase acara pemeriksaan Dismissal, hakim tidak menawarkan jalan mediasi kepada pihak yang bersengketa. Peraturan Mahkamah Agung (Perma ) nomor 01 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tidak secara tegas memasukkan sengketa Tata Usaha Negara sebagai perkara yang dilakukan upaya mediasi sebelum dilakukan pemeriksaan perkara di persidangan.
Upaya mediasi dalam perkara yang disidangkan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara secara prinsip dapat dilaksanakan, menginggat dalam perkara TUN kelanjutan suatu perkara tergantung pada masing-masing pihak yaitu Penggugat dan Tergugat. Untuk menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup dengan Negara secara cepat maka perlu adanya aturan hukum yang memberikan ruang mediasi baik yang dilakukan di pengadilan dengan mediasi hakim ataupun diluar pengadilan.
Penyelesaian melalui Mediasi seyogyanya dapat dilakukan dalam semua tingkatan proses pengadilan. Manfaat utama yang dapat diraih dari penyelesaian Mediasi dalam sengketa TUN di bidang lingkungan hidup adalah Sengketa TUN dapat diselesaian lebih cepat karena tidak perlu menjalani tahapan persidangan sehingga terdapat kepastian tentang penyelesaian permasalahan yang diajukan oleh Penggugat.
Mediasi juga dapat diterapkan dalam kasus sengketa lingkungan  hidup atas pelanggaran lingkungan hidup yang memiliki sanksi administrative. Pemerintah selaku regulator dan pelaksana menempuh jalur mediasi sebelum menjatuhkan hukuman kepada pencemar sehingga menghindarkan atau mengurangi terjadinya sengketa lingkungan hidup antara Warga Negara dengan pemerintah.

5.      Mendorong Pengajuan Hasil Mediasi yang dilakukan diluar Pengadilan untuk mendapatkan Akta Perdamaiandari Pengadilan.
Bahwa sebagaimana diuraikan diatas salah satu hal yang mengurangi efektifitas mediasi dalam penyelesian sengketa lingkungan hidup adalah ketiadaan legalisasi dari pengadilan atas hasil yang dicapai dalam mediasi. Dilibatkannya pengadilan dengan memberikan Penetapan, merupakan suatu sarana pemaksa (enforce) bagi para pihak untuk menjalankan kewajiban yang telah disepakati secara konsekwen dimana hasil kesepakatan yang diberikan legalisasi oleh Pengadilan Khusus Lingkungan Hidup memiliki kekuatan yang sama dengan Putusan Pengadilan.
Bahwaberbeda dengan mediasi yang dicapai yang dilakukan di pengadilan dimana hasil mediasi tersebut menjadi court order, mediasi yang dilakukan di luar pengadilan pelaksanaannya akan tergantung keinginan baik ( goodwill ) dari para pihak. Menurut Pasal 23 Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediiasi di Pengadilan, kesepakatan yang dicapai dilakukan di luar pengadilan dapat dimintakan Akta Perdamaian melalui pengajuan Gugatan. Salah satu penyebab kepatuhan dari para pihak untuk melaksanakan hasil mediasi adalah tidak adanya mekanisme hukum yang dapat digunakan sebagai alat pemaksa.
Agar lebih efektif dan dapat diterapkan, maka perlu dibuat aturan didalam undang-undang perlindungan lingkungan hidup tentang mekanisme penerapan mediasi penal atas sengketa lingkungan hidup yang masuk kategori pidana. Peraturan ini menjadi dasar hukum penerapan mediasi penal dan memuat aturan tentang kewajiban menempuh mekanisme mediasi atas sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam kategori pidana sebelum melakukan penuntutan di pengadilan. Dengan demikian hukum pidana merupakan ultimum remidium dalam sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam kategori pidana, dimana hukum pidana menjadi pilihan terakhir makanala semua mekanisme telah ditempuh.
Penggunaan mediasi penal dalam sengketa lingkungan hodup yang masuk kategori pidana merupakan suat penegakan hukum dimana jika mengacu pada pendapat Keit Hawkins bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari dua startegi yaitu compliance ( Pentaaatan ) dan conciliatory style (bersifat mendamaikan)  , maka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam ketegori pidana melalui mediasi digolongkan dalam strategi conciliatory style atau suatu amicable settlement (penyelesaian ramah tamah).
Penggunan Mediasi Penal sangat membantu dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam kategori pidana karena banyak perkara pidana lingkungan hidupnyang berakhir dengan kegagakan dalam penuntutan. Kondisi tersebut akan semakin memperparah korban dan lingkungan. Melalui mekanisme mediasi penal akan didapatkan penyelesaian yang bijaksana serta menguntungkan seluruh pihak serta tidak ada yang merasa dirugikan baik bagi pihak pencemar maupun pihak tercemar.
 Disamping itu dalam mediasi Penal dapat menghindarkan  saling tunding menunding dari para pihak yang bersengketa serta perasaan permusuhan akan tetapi melalui Mediasi yang diharapkan adalah kejujuran untuk menciptakan keadilan dengan menyamakan persepsi dalam mencari solusi terhadap lingkungan yang telah rusak dan tercemar, karena untuk ekosistem yang telah rusak dan tercemar tidak ada tindakan yang paling bermanfaat kecuali memperbaiki lingkungan dan mencegah terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan kembali serta tidak ada perasaan menang atau kalah.

6.      Pembentukan Pengadilan Khusus Lingkungan.
Bahwa untuk lebih memberikan efektifitas dalam penanganan masalah lingkungan hidup, diperlukan adanya suatu pengadilan khusus lingkungan hidup. Pembentukan pengadilan ini merupakan salah satu tatanan hukum dimana menrut Mochtar Kusumaatmadja yang memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas 3 ( tiga) komponen (subsistem) yaitu Azas-azas dan kaidah hukum, Kelembagaan hukum, Proses perwujudan hukum.
Tidak seperti Environmental Tribunal di India yang hanya mempunyai kewenangan terkait ganti rugi, akan tetapi pengadilan khusus lingkungan hidup memiliki kewenangan yang lebih luas yaitu 1) mempnyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup baik pidana maupun perdata, 2) penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa dan 3) memberikan Penetapan untuk penyelesaian lingkungan hidup yang diselesaikan oleh para pihak yang bersengketa diluar pengadilan.
Bahwa didasarkan kepada sifat perkara atau sengketa lingkungan hidup yang khas dan membutuhkan sumber daya manusia yang mengetahui tentang hukum lingkungan dengan baik serta sebagai solusi digunakannya mekanisme-mekanisme prosedur baru yang tidak dikenal dalam praktek pengadilan umum seperti menerbitkan Penetapan Pengadilan atas hasil Mediasi yang dilakukan diluar Pengadilan, menerbitkan Penetapan Pengadilan untuk kasus-kasus sengketa lingkungan hidup yang dikesampingkan penuntutannya.
Seperti pengadilan Khusus lainnya di Indonesia Pengadilan Lingkungan Hidup  ini merupakan penambahan kamar ( chamber ) pengadilan negeri sehingga menjadi bagian dari pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Menginggat sifat perkara yang ditangani bersifat khusus maka hakim-hakim yang menanggani perkara lingkungan hidup harus memiliki sertifikasi sebagai hakim lingkungan hidup. Hakim dalam pengadilan lingkungan hidup ini terdiri atas hakim karier dan hakim non karier.
Dengan memiliki Pengadilan Khusus Lingkungan hidup dan personil yang melaksanakannya mempunyai kemampuan khusus tentang masalah lingkungan hidup, maka diharapkan akan lahir suatu atmosfir penegakan hukum lingkungan yang lebih menitikberatkan kepada keadilan dan recovery korban dan lingkungan.
Pengadilan Khusus Lingkungan Hidup juga dapat memasukkan penetapan Sita Jaminan terhadap asset dari salah satu pihak yang memiliki kewajiban kepada pihak lain sehingga apabila kesepakatan kewajiban tidak dilakukan oleh salah satu pihak yang memiliki kewajiban maka pihak yang mempunyai hak untuk menerima prestasi berhak untuk mengajukan pencairan sita jaminan tersebut.
Bahwa dengan adanya mengarus utamaan (menstream) pada penggunaan Mediasi dalam seluruh sengketa lingkungan hidup baik baik perdata, administrasi serta pidana akan dicapai hasil yang maksimal serta memiliki keberpihakan kepada recovery korban dan lingkungan. Sebagai suatu mekanisme penegakan hukum dalam hukum lingkungan hidup, mediasi memberikan suatu penyelesaian yang cepat dan pencapaian keadilan bagi semua ( justice for all ) dimana mediasi menjadi solusi atas  penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang dalam penyelesaian secara hukum yang tak kunjung selesai dan pupus ditengah jalan dalam proses hukum, karena itulah jalan yang bijaksana dalam penyelesaian masalah ini adalah menggunakan konsep mediasi, dimana dalam konsep ini akan menguntungkan seluruh pihak dan tidak ada yang merasa dirugikan baik bagi pihak pencemar maupun pihak tercemar. Disamping itu dalam mediasi tersebut tidak ada saling tunding menunding dari para pihak yang bersengketa, namun yang ada akan  timbul adalah kejujuran untuk menciptakan keadilan dengan menyamakan persepsi dalam mencari solusi terhadap lingkungan yang telah rusak dan tercemar, karena untuk ekosistem yang telah rusak dan tercemar tidak ada tindakan yang paling bermanfaat kecuali memperbaiki lingkungan dan mencegah terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan kembali sehingga tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan terciptanya hormoni sosial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar