KONSEP
MEDIASI SEBAGAI SARANA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Oleh Dr. H. Achmad Kholidin,
S.H.,M.H
A.
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Hubungkan dengan
Efektifitas Penegakan Hukum Lingkungan
Pembangunan ekonomi dan
industri, menjadi fokus negara-negara di dunia saat ini, yang tentunya
disamping membawa dampak positif seperti meningkatnya penerimaan devisa,
pengurangan pengangguran, pembangunan infrastruktur akan tetapi juga membawa
dampak negatif, dimana pembangunan industri akan dibarengi dengan meningkatnya
ekploitasi sumber daya untuk bahan baku, energi produksi. Meningkatnya konsumsi
sumber daya tersebut akan berakibat pada meningkatnya pula limbah hasil
produksi.
Limbah hasil produksi tidak
boleh dibuang secara sembarangan, hal itu untuk mencegah terjadinya pencemnaran
lingkungan. Perusahaan dalam mengelola limbah harus memperhatikan baku mutu
lingkungan (baku mutu air, baku mutu tanah dan baku mutu udara ) sehingga
limbah yang dibuang tidak membahayakan. Sebaliknya jika perusahaan tidak
memperhatikan baku mutu tersebut maka limbah yang dilepaskan/ dibuang dapat
mencemari lingkungan yang tentunya sangat merugikan bagi kelangsungan hidup
ekosistem lingkungan serta masyarakat.
Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup erat kaitannya dengan pembangunan, dimana pembangunan ekonomi
yang terjadi saat ini sangat membutuhkan suplai bahan baku, lahan, energi dan
tentunya akan sangat memberikan beban bagi lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan
mensinergikan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelangsungan lingkungan hidup
karena jika tidak dilakukan sinergi yang terjadi adalah suatu pertumbuhan
ekonomi yang mengekploitasi sumberdaya tanpa memperhatikan kerusakan lingkungan
yang terjadi.
Sesuai dengan Pasal 69 UU
No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
memberikan kewajiban bagi semua masyarakat untuk memelihara kelestarian fungsi
lingkungan serta mengendalikan pencemarana atau perusakan lingkungan. Kewajiban
tersebut hadir sebagai konsekwensi tentang hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat menyangkut kepentingan umum dan merupakan milik bersama. Hak untuk menikmati lingkungan yang sehat dijamin oleh Konstitusi, dalam Pasal
28 J Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan “Jaminan atas hak hidup dalam lingkungan yang
sehat bagi setiap warga negara memberikan kewajiban bagi negara untuk dapat
mengontrol lingkungan supaya tetap sustain ( berkelanjutan ) sebagaimana
disampaikan oleh Stuart Bell dan David Mc Gillivray terkait pembangunan
berkelanjutan yang menyatakan The concept sustainable development is
control to the recent and future development of environmental law and policy
Bahwa untuk menjaga sinergitas
antara kegiatan ekonomi ( usaha ) dengan perlindungan lingkungan hidup, UU PPLH
Pasal 68 juga memberikan kewajiban kepada pelaku bisnis untuk memberikan
informasi terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara
benar, akurat dan terbuka, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup serta
mentaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup. Akan tetapi dalam praktek ternyata
kewajiban-kewajiban terkait perlindungan terhadap lingkungan hidup sering kali
diabaikan akibatnya timbuk pencemaran yang berujung pada terjadinya sengketa
lingkungan hidup.Sesuai dengan Pasal 1 butir 25
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan dua pihak atau lebih yang timbul
dari kegiatan yang berpotensi dan atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
Atas terjadinya sengketa lingkungan hidup yang terjadi UU PPLH mengatur tentang
mekanisme penyelesaian sengketa yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 84 dimana didalamnya
terdapat 3 ( tiga ) hal penting yaitu: pertama bahwa penyelesaian sengketa lingkungan
hidup dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan,
kedua para pihak boleh secara bebas menentukan mekanisme apa yang ditempuh
untuk penyelesaian sengketa yang dihadapi dan ketiga bahwa pengajuan gugatan di
pengadilan adalah jalan terakhir setelah penyelesaian di luar poengadilan tidak
mendapai kesepakatan atau penyelesaian.
Jika dilihat dari ketentuan
Pasal 84 UUPPLH tersebut, maka secara filosofis pembuat undang-undang
meletakkan penyelesaian sengketa melalui jalur diluar pengadilan ( out of court settlement ) sebagai opsi
utama dan lebih lanjut penyelesaian diluar pengadilan menjadi prasyarat bagi
para pihak untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan melalui pengajuan
gugatan.
Sebagaimana disampaikan oleh
Keit Hawkins bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari dua startegi yaitucompliance (pemenuhan) dengan concilatory style (perdamaian) sebagai karakteristiknya dan sanctioning (sanksi) dengan penal style (penghukuman) sebagai
karakteristiknya.
Berangkat dari pendapat keit
Hawkins maka penegakan hukum tidak hanya terbatas kepada proses litigasi akan
tetapi non litigasi melalui proses conciliatory
style seperti Mediasi yang merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.
Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009, Tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup Pasal 84 dan Pasal 85 menetapkan 2 mekanisme penyelesian
sengketa lingkungan hidup yaitu melalui penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dan di luar pengadilan. Tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa
melalui pengadilan dan di luar pengadilan maka UU PPLH mengikuti pola penegakan
hukum sebagaimana disampaikan oleh Keit Hawkins yaitu compliance Model(Pentaaatan) yaitu pengajuan gugatan ke pengadilan
dan penuntutan pidana dan conciliatory style ( mendamaikan ) yaitu
mekanisme Mediasi.
1.
Penyelesaian
Sengketa Melalui Litigasi
Untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang terjadi UU
PPLH mengatur tentang mekanisme penyelesaian sengketa yaitu sebagaimana diatur
dalam pasal 84 dimana didalamnya terdapat 3 ( tiga ) hal penting yaitu:
1)
bahwa penyelesaian sengketa
lingkungan hidup dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan maupun di luar
pengadilan.
2)
kedua para pihak boleh secara
bebas menentukan mekanisme apa yang ditempuh untuk penyelesaian sengketa yang
dihadapi dan
3)
bahwa pengajuan gugatan di
pengadilan adalah jalan terakhir setelah penyelesaian di luar pengadilan tidak
mendapat kesepakatan atau penyelesaian.
Penyelesaian sengketa
lingkungan hidup melalui litigasi baik secara perdata, Administratisi maupun
pidana sebagai suatu penegakan hukum lingkungan adalah penyelesaian klasik
suatu sengketa.Para pihak bersengketa membawa masalah hukumnya ke pengadilan
didsarkan kepada posisi bahwa mereka yakin akan memenangkan proses gugatan.
Akan tetapi dalam praktek litigasi tunduk kepada prosedur hukum acara yang
ketat sehingga seringkali keputusan akhir di pengadilan berbeda dengan apa yang
diharapkan orang para pihak.
Menurut ketentuan Undang-undang
No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup, penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat
meliputi ganti kerugian dan pemulihan
lingkungan, dan gugatan administratif. Disamping
itu penegakan hukum lingkungan hidup di pengadilan dapat juga ditempuh melalui
hukum pidana. Karena sifatnya sebagai upaya penegakan hukum terakhir,
penegakan hukum pidana baru dapat dilakukan jika upaya hukum lain sudah tidak
efektif lagi. Pengertian dari tidak efektif di sini adalah upaya-upaya hukum
lain sudah dilaksanakan tetapi tidak berjalan maksimal, hal ini terjadi apabila
aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak
pelanggar dengan sanksi administrasi tersebut, tetapi tidak mampu menghentikan
pelanggaran yang terjadi atau telah dilakukan upaya penyelesaian dengan
mekanisme alternatif penyelesaian sengketa, namun hal tersebut menemui jalan
buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan secara hukum perdata, namun upaya
tersebut juga tidak efektif.
Jika dilihat dari daftar rekapitulasi penanganan
kasus lingkungan hidup di Indonesia pada Kementerian Lingkungan Hidup sejak
diberlakukannya Undang-undang Lingkungan Hidup antara tahun 1989 hingga 2010, banyak perkara lingkungan hidup yang gagal
penangannanya dimana banyak yang tidak terbukti ataupun yang dimenangkan oleh
Penggugat yaitu :
1) Untuk perkara yang masuk melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat 6 perkara, hanya 1 perkara yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
2) Untuk perkara yang masuk melalui
Pengadilan Negeri dalam gugatan perdata terdapat 41 gugatan perkara , hanya 3 perkara yang memenangkan Penggugat dan
mempunyai kekuatan hukum tetap, dan 39 perkara lainnya dikalahkan oleh Tergugat
berdasarkan argumentasi hukum.
3) Untuk perkara tindak pidana terdapat 40
kasus yang terjadi, 17 perkara telah di sidangkan di Pengadilan Negeri dan
hanya 7 perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, namun para pelakunya
hanya dijatuhi hukuman kisaran antara 1 sampai 2 tahun dan 2 perkara diputus
percobaan dan 14 kasus lainnya masih tahap penyidikan, penuntutan dan
persidangan
4) Untuk tahun 2009 hingga 2010 terdapat 20
kasus tindak pidana yang maju ke Pengadilan dan masih menggunakan Undang-undang
Nomor 23 tahun 1997, dengan hasil penyelesaian
perkara yaitu 7 kasus divonis penjara, 11 kasus di vonis bebas dan 2 kasus
dihukum percobaan.
5) Untuk tahun 2011, terdapat 13 perkara yang diajukan dan disidang
tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali, dan dari ke 13 perkara tersebut 9 perkara yang
diputus pidana melalui kasasi, dan 4 perkara yang di putus pidana melalui PK.
Dan pada tahun ini Mahkamah Agung mengumumkan denda yang diperoleh dari perkara
lingkungan hidup hanya Rp. 88.050.000,- dari 13 perkara yang disidangkan.
Tabel
1: Penanganan Kasus Lingkungan Hidup di Indonesia
dari
Tahun 1989 s.d 2010
NO
|
PENANGANAN PERKARA
|
PROGRES PERKARA
|
|
PERKARA MASUK
|
BERKEKUATAN HUKUM TETAP
|
||
1
|
Melalui Gugatan
Perdata
|
41
|
3
|
2
|
Melalui Pidana
|
17
|
7
|
3
|
Melalui Gugatan
TUN
|
6
|
1
|
4
|
Perkara pidana
dalam proses persidangan dari tahun 2009-2010
|
20
|
7
|
Tabel
2 : Perkara Sengketa Lingkungan Hidup dalam Tindak Pidana Khusus Tingkat Kasasi
dan Peninjauan Kembali
NO
|
PENANGANAN PERKARA
|
PROGRES PERKARA
|
JUMLAH
|
|
1
|
Tindak
Pidana Khusus Tahun 2011
|
Kasasi
|
PK
|
|
9
|
4
|
13
|
Hasil studi
tentang efektitas penyelesaiaan senketa lingkungan di Indonesia dalam kurun
waktu 1998 – 2009 yang dipaparkan David Nicholson menemukan bahwa korban-korban pencemaran
merasakan betapa sulitnya membuktikan kasus mereka di pengadilan. Dalam kasus
litigasi, dari 23 kasus yang berhasil diketahui putusan akhirnya, 87% kalah di
pengadilan, baik karena alasan prosedural maupun substantif. Waktu yang harus
ditempuh untuk memperoleh putusan pengadilan pun cukup lama, antara 2-10 tahun.
Alasan utama rendahnya tingkat keberhasilan ini adalah kendala-kendala hukum
dalam membuktikan adanya pencemaran dan perusakan lingkungan, selain juga
karena baik penyidik/penuntut maupun hakim tidak “akrab” dengan hukum
lingkungan.
Laporan ini
menyimpulkan bahwa mediasi adalah sebuah mekanisme yang efektif
sekurang-kurangnya dari sudut pandang mereka yang hanya menginginkan kompensasi
untuk kerusakan lingkungan. Dari 17 kasus yang diteliti, sebanyak 82% di
antaranya mencapai kesepakatan (seluruhnya atau sebagian) dan 64 % tuntutan
kompensasi telah dibayar oleh perusahaan. Proses mediasi ini juga relatif
cepat, butuh waktu rata-rata 1,2 tahun dari awal untuk finalisasi. Tapi pada
umumnya dibutuhkan banyak waktu dan energi untuk membuat pelaku pencemaran
menyetujui mediasi, rata-rata ada selang waktu 10,1 tahun antara timbulnya
pencemaran dan tercapainya kesepakatan dalam proses mediasi. Dalam 47% dari
kasus-kasus tersebut, konflik lebih lanjut yang signifikan terjadi setelah
kesepakatan dicapai.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian melalui jalur
litigasi tidak efektif dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup jika
dibandingkan dengan penyelesaian melalui Mediasi. Kondisi tersebut berbeda
dengan penyelesaian melalui Mediasi dimana waktu penyelesaian lebih singkat dan
tingkat keberhasilan (mencapai kesepakatan seluruh atau sebagaiannya) sangat
tinggi.
Bahwa tidak efektifnya dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang ditandai dengan gagalnya gugatan
atau tidak terbuktinya dakwaan Penuntutan. Untuk mencari kelemahan-kelamahan
dari penyelesaian secara litigasi dapat di gunakan teori hukum pembangunan
Mochtar Kusumaatmadja sebagai sandaran hukumnya. Dari kajian penulis ditemukan
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
jalan penegakan hukum lingkungan secara litigasi yaitu antara lain :
1)
Peraturan Perundang-undangan Yang
Kurang Jelas
Bahwa terdapat beberapa hal terkait belum
jelasnya peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan hidup sehingga
menyebabkan kelemahan dalam penyelesaian litigasi yaitu :
a.
Rumusan
sengketa hanya dapat menjangkau kegiatan yang telah berlangsung yang menimbulkan atau diduga
menimbulkan pencemaran lingkunganbelum jelas kriteria
kerugian lingkungan dan pembedaan antara kerugian orang/masyarakat dengan
kerugian lingkungan.
b.
Kurang jelasnya pengaturan
tentang penerapan asas strict liability dalam
pertanggungjawaban hukum perdata.
c.
Belum jelas mekanisme
perwakilan negara dalam proses pengajuan gugatan atas nama masyarakat. Selain
itu juga belum ada ketentuan yang mengatur tentang mekanisme pembagian dan
akuntabilitas dari pembagian ganti rugi yang didapatkan dari gugatan tersebut.
d.
Instansi pemerintah yang dapat
mewakili lingkungan hidup dalam menggugat ganti rugi dan/atau tindakan tertentu
terhadap pencemar dan/atau perusak lingkungan hanya Kementerian Lingkungan
Hidup (tingkat pusat). Padahal, banyak kasus pencemaran atau perusakan terjadi
di tingkat lokal di mana pemerintah pusat tidak mampu menangani kasus-kasus
tersebut. Hal ini terjadi karena penentuan tentang siapa yang berwenang
mengajukan gugatan ganti rugi lingkungan saat ini hanyalah didasarkan pada UU
No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UUPNBP 1997). Dalam
peraturan ini diatur bahwa penerimaan negara bukan pajak merupakan penerimaan
pemerintah pusat. Oleh karena ganti rugi lingkungan merupakan penerimaan negara
bukan pajak, maka yang berwenang mengajukan gugatan hanya instansi pemerintah
yang bertanggung-jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di pusat yaitu
Kementerian Lingkungan Hidup. Instansi pemerintah yang dapat mewakili
lingkungan hidup dalam menggugat ganti rugi dan/atau tindakan tertentu terhadap
pencemar dan/atau perusak lingkungan hanya Kementerian Lingkungan Hidup
(tingkat pusat).
e.
Masih belum tegasnya pemberian
sanksi hukum dan turunannya seperti pencabutan izin usaha dan pemberhentian
produksi terhadap para pencemar dan perusak lingkungan.
2)
Kurang memadainya kemampuan penggugat baik masyarakat maupun
pemerintah
Selain
dari sisi peraturan yang masih memiliki kelemahan, faktor lain yang juga
mempengaruhi efektivitas sebuah proses litigasi adalah memadai atau tidaknya
sumber daya si penggugat. Sumber daya dalam hal ini diartikan sebagai kemampuan
finansial, kemampuan untuk mengkonstruksikan gugatan, kemampuan untuk
menyediakan alat bukti, dan kemampuan untuk menghadirkan saksi ahli. Dalam
kasus-kasus sengketa lingkungan, pada umumnya pihak penggugat merupakan
masyarakat korban pencemaran yang secara ekonomi berkemampuan terbatas.
Masyarakat
tidak memiliki cukup uang untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Oleh karena
itu, dalam banyak upaya penyelesaian sengketa lingkungan, masyarakat pada
umumnya diwakili oleh LSM yang memberikan pelayanan secara pro bono. Pada saat
yang sama, LSM sendiri juga memiliki keterbatasan keuangan sehingga dalam kasus-kasus
gugatan yang mengatasnamakan lingkungan (legal
standing of NGO), LSM sering kali tidak benar-benar dapat mengawal proses.
Kendala
lain yang dihadapi penggugat pada umumnya adalah kesulitan menyediakan bukti
secara lengkap di persidangan bahwa telah terjadi pencemaran. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan kesulitan tersebut:
a.
sulitnya mendapatkan akses
informasi atau data yang dikelola oleh pemerintah atau pihak perusahaan;
b.
pemerintah atau perusahaan
memang tidak mendokumentasikan data, misalnya terkait pengawasan, pembuangan
limbah, dll.;
c.
Jika data dapat diakses,
terdapat indikasi penggugat (peminta informasi) harus membayar mahal untuk
mendapatkan informasi/data/bukti yang diperlukan;
d.
apabila ingin mendapatkan bukti
sendiri, maka biaya yang diperlukan juga cukup tinggi, misalnya biaya untuk uji
laboratorium. Keterbatasan tersebut sering kali memaksa pihak penggugat
menggunakan bukti-bukti seadanya, misalnya kliping koran, yang sering kali
ditolak oleh hakim karena memang kliping koran bukan merupakan barang bukti
dalam aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
3)
Kurang memadainya kemampuan hakim dalam memutus perkara lingkungan
Kendala
penggugat untuk menyediakan bukti tersebut di atas menjadi persoalan besar
dalam penyelesaian sengketa lingkungan ketika dihadapkan dengan kurangnya
kemampuan dan pemahaman hakim dalam menangani sengketa lingkungan. Salah satu
contoh kurangnya kemampuan hakim adalah dalam memaknai bukti scientific sebagai bukti hukum. Dalam
kasus pencemaran atau perusakan lingkungan, ketersediaan bukti sangat penting
untuk membuktikan kausalitas perbuatan dan dampak yang timbul. Hakim dalam hal
ini sering gagal memaknai bukti scientific
Walaupun hakim kadang kala gagal menerjemahkan bukti scientific menjadi bukti hukum sehingga tidak menjadikannya
sebagai dasar pengambilan keputusan, namun sering kali bukti-bukti scientific tersebut diminta oleh hakim
kepada penggugat.
Pada
kasus Laguna Mandiri misalnya Pihak Penggugat menghadirkan saksi yang dalam
kesaksiannya di pengadilan menjelaskan bahwa api disulut merupakan cara yang
dilakukan oleh Laguna Mandiri untuk land
clearing. Kesaksian tersebut oleh Pengadilan Negeri diterima akan tetapi
Pengadilan Tinggi tidak menerima karena saksi tidak berada di tempat kejadian
pada saat pembakaran sehingga keterangan saksi diragukan.
Pada kasus
Pakerin, Hakim juga gagal untuk menerjemahkan bukti scientific yaitu foto satelit mengenai lokasi titik api yang berada
di kawasan konsesi perusahaan. Dengan menggunakan bukti tersebut serta asas strict liability maka sebenarnya telah
dapat dibuktikan akan tetapi karena pengadilan menerapkan kesengajaan maka
gugatan ditolak.
4)
Perilaku hakim yang legalistic
Hakim dalam menangani sengketa lingkungan, setidaknya dari 27
kasus-kasus yang dijadikan studi, terlihat masih legalistik yakni memaknai perundang-undangan secara sempit,
hanya membaca yang tersurat serta kurang melihat konteks persoalan (keadilan
dan perlindungan lingkungan) secara lebih luas. Dalam kasus Pelepasan Kapas
Transgenik, hakim menafsirkn secara sempit bahwa pelepasan produk transgenik
bukan suatu aktifitas yang wajib AMDAL
.
5)
Institusi peradilan belum sepenuhnya mandiri
Dalam
pembuatan putusan di pengadilan merupakan sebuah proses penerapan hukum yang
mandiri dan netral, tanpa campur tangan pihak mana pun, akan tetapi tidak
dihindarkan bahwa pembuatan putusan pengadilan sangat dipengaruhi oleh banyak
faktor, termasuk faktor politik dan sosial di luar pengadilan. Dalam konteks
saat ini, korupsi, tekanan politik, dan pemberitaan media merupakan faktor yang
cukup mempengaruhi hasil putusan pengadilan.
Dalam
kasus pencemaran Buyat dan Lumpur Lapindo peranan politik hukum negara turut menentukan putusan akhir
gugatan korban pencemaran. Terlebih lagi bila ada kepentingan penguasa yang
sengaja mencampuri putusan hakim maka akan sangat berpengaruh dalam putusan
hakim. Dalam perkara lumpur lapindo dalam gugatan di pengadilan selalu
dikalahkan dan bahkan berkas penyidikan tindak pidana dihentikan atau di SP3,
dengan alasan bahwa lumpur Lapindo merupakan bencana alam bukanlah kesalahan
prosedur dalam melakukan pengeboran.
Kegagalan dalam penyelesaian sengketa
lingkungan hidup melalui litigasi menjadikan penegakan hukum lingkungan semakin
jauh dari tujuannya, dimana dengan adanya kekalahan di pengadilan oleh pihak
Penggugat (korban) atau Penuntut Umum maka
pihak pencemar terhindar untuk melakukan recovery terhadap lingkungan yang tercemar, karena dalam
penyelesaian litigasi yang ada hanya menang atau kalah. Jika pihak Tergugat
atau Terdakwa dianggap tidak terbukti
melakukan pencemaran maka akan di bebaskan dari hukuman dan kewajiban untuk
melakukan recovery, dalam kondisi
demikian tentunya akan menjadi beban kepada Negara untuk melakukan recovery terhadap lingkungan karena kerugian dan kerusakan tidak
dibebankan kepada pihak yang diduga sebagai pencemar.. Jika pemerintah tidak segera melakukan
perbaikan maka kondisi lingkungan yang telah tercemar tersebut akan semakin
rusak maka dengan
sendirinya tidak dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakat dan tidak nyaman
untuk ditinggali. Sedangkan rakyat memiliki hak yang dilindungi oleh konstitusi
untuk menikmati lingkungan yang sehat dan kekayaan alam yang ada di bumi
Indonesia.
2.
Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Non Litigasi
Berdasarkan Pasal 85 ayat 1 Undang-undang No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan untuk sengketa
lingkungan yang sering digunakan adalah mediasi. Sebagai suatu alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, mediasi adalah salah satu model
penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan jasa pihak ketiga
netral yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan dan hanya berfungsi
sebagai fasilitator untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan yang sedang
saling bertabrakan. Model penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan cara
mediasi yang demikian ini, menurut kalkulasi perhitungan biaya (cost) yang harus dikeluarkan dalam
penyelesaian sengketa termasuk sangat murah serta sederhana dan tidak memakan
waktu yang lama.
Dalam kasus sengketa lingkungan hidup Ketentuan Pasal 85 ayat 2 UUPPLH adalah dasar
bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup
melalui jalan mediasi.Lebih lanjut penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:
1)
bentuk
dan besarnya ganti rugi;
2)
tindakan
pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
3)
tindakan
tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan;
dan/atau
4)
tindakan
untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi UUPPLH
memberikan batasan tentang yuridiksi penyelesaian sengketa melalui jalur out of court settlement dimana terhadap
sengketa lingkungan hidup yang masuk kategori tindak pidana lingkungan hidup tidak dapat
diberlakukan.
Menurut penelitian David Nicholson,
mediasi meskipun efektif dalam penyelesaian sengketa, namun mediasi juga
membawa kelemahan yaitu kepatuhan para pihak untuk melaksanakan kewajiban yang
telah disepakati dalam mediasi. Dalam beberapa kasus dalam lampiran tabel 3
dapat dilihat, meskipun para pihak yang melakukan mediasi telah sepakat dalam
proses jumlah ganti rugi dan recoveri lahan yang tercemar, akan
tetapi dalam pelaksanaannya secara sepihak pihak pencemar membatalkan dan
membayar uang ganti rugi dibawah jumlah yang disepakati dalam mediasi. Namun ketidakpatuhan
salah satu pihak untuk melaksanakan hasil mediasi sifatnya hanya kasuistis,
tidak semua kasus dapat dilakukan generalisasi, karena walaupun kesepakatan
yang dilakukan diluar pengadilan, dalam beberapa kasus seperti kasus Kanasritex
dan Kasus Sungai Tapak, pihak perusahaan melaksanakan komitmen yang telah
disepakati dalam mediasi.
Efektifitas Mediasi sebagai sarana
alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup, dipengaruhi oleh kemauan
dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya melalui mediasi.
Berdasarkan Penelitian Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan
Bappenas, faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan para pihak menggunakan jalur
Mediasi sebagai berikut:
a. Dukungan
Pemerintah
Keterlibatan Pemerintah baik
pemerintah Pusat atau daerah dalam suatu sengketa lingkungan hidup membawa
keuntungan dalam kaitannya membangun kepercayaan dari para pihak untuk bersedia
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup yang dihadapi.Dalam kasus Sibalec,
Kanasritex, Sungai Tapak , Sungai Siak, Naga Mas, Samitex, Sungai Ciujung dan
Sungai Sambong para pihak mendukung kehadiran pihak pemerintah untuk membantu menyelesaikan
sengketa yang dihadapi dan bersedia untuk duduk melakukan mediasi yang di
mediatori oleh Pejabat Pemerintah.
Pejabat Pemerintah Kota atau Kabupaten atas penugasan dari Walikota atau
Bupati juga telah bertindak sebagai mediator dalam sengketa-sengketa lingkungan
hidup.Mediasi yang dijalankan
oleh pejabat kementerian lingkungan hidup dalam menyelesaikan kasus-kasus
sengketa
lingkungan hidup,
meskipun dalam jabaran tugas pokok dan fungsi Kementerian Lingkungan tidak ada
ketentuan yang secara tegas menyebutkan bahwa lembaga ini berwenang menjalankan
fungsi mediasi.
Ketika para penduduk korban pencemaran lingkungan dan lembaga swadaya
masyarakat di bidang lingkungan mengadu kepada Kementerian Lingkungan Hidup
tentang terjadinya kerugian lingkungan, pejabat di lingkungan Kementerian
Lingkungan Hidup tidak serta merta menggunakan kewenangan sebagai pemerintah
untuk menegakkan hukum secara top down,
tetapi berusaha mencari penyelesaian win-win
solusiondengan cara bertindak sebagai mediator yang memfasilitasi
perundingan antara pihak pengadu dan pihak yang diadukan.
Pada kasus sengketa Lingkungan Hidup Kasus Tembok Dukuh, Surabaya 1991 misalnya
Nabil Makarim yang menjabat sebagai Deputi I Meneg Lingkungan Hidup bertindak
sebagai mediator dalam sengketa tersebut.
b. Dukungan
atau Pendampingan pihak Ketiga
Peran pihak ketiga untuk mendorong
terciptanya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi. Dalam 4 (
empat ) kasus tersebut terlihat peran Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ),
Pejabat Pemerintah, Media Massa yang bertindak sebagai alat penekan bagi pihak
pencemar untuk bersedia melakukan mediasi. Keterlibatan LSM / Masyarakat
dalam penegakan hukum lingkungan seperti disampaikan oleh Kusnadi Harjasumantri
adalah suatu partisipasi aktif dalam
penegakan hukum karena dalam penegakan hukum masyarakat bukan penonton
bagaimana hukum ditegakkan.
Dalam suatu sengketa lingkungan hidup, Lembaga Swadaya masyarakat memliki
peran penting dimana selain sebagai suatu lembaga yang mengawasi (oversight body ) LSM juga bisa menjadi
pihak yang memberikan dukungan atau dorongan kepada para pihak utamanya
masyarakat korban dengan cara mewakili atau mendampingi korban pencemaran
lingkungan hidup selama proses Mediasi.
mediator harus mampu Kehadiran LSM dalam mediasi tersebut agar pihak
yang diwakili atau yang didampingi tersebut dalam hal ini korban pencemaran
lingkungan mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan selama proses mediasi.
Kehadiran LSM memberikan dorongan kepercayaan diri korban untuk terus menerus
menjalani proses mediasi untuk mendapatkan hak-haknya.
Dalam proses mediasi, LSM tidak jarang bertindak sebagai penyetara antara
salah satu pihak, akan tetapi juga bertindak sebagai advokasi untuk
menyeimbangkan kekuatan manakala pihak mediator yang memiliki tugas untuk untuk
meneyeimbangkan tidak menjalankan tugasnya dengan baik selama proses mediasi.
Dalam penelitian Van
Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan Bappenas, mengenai efektifitas
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia dari 17 kasus sengketa lingkungan hidup, 12 kasus diantaranya yaitu sengketa
lingkungan hidup Palur Raya, KLI, KEM, Tawang Mas, Knasritex, Sumber sehat,
Indoacidatama, Ciujung, Nagamas, Sungai Sombang, Sungai Siak, Tyafountex dan
sungai Tapak masyarakat yang bersengketa dengan perusahaan-perusahaan tersebut
telah didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat baik sebelum maupun selama
proses mediasi.
c. Pemberitaan
Media
Suatu sengketa lingkungan hidup yang
terjadi seringkali menarik perhatian pemberitaan. Cakupan media baik elektronik
maupun cetak dimanfaatkan bagi para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan
simpati dan dukungan. Protes-protes yang dilakukan oleh para korban pencemaran
yanmg diliput oleh media secara terus menerus dapat mendorong pihak aparat
untuk memaksa pihak perusahaan/ pihak pencemar untuk berunding menyelesaiakan
masalah yang dihadapi. Perusahaan tidak ingin citra positif menjadi rusak
karena pemberitaan dugaan pencemaran, sehingga untuk tetap menjaga citra
positif kepada masyarakat konsumen maka lebih baik menyelesaiakan sengketa yang
dihadapi daripada tetap berkonflik yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan
sendiri.
d. Keinginan
Untuk Menjaga Hubungan Baik
Peran pemerintah untuk mendorong para
pihak khususnya perusahaan untuk bersedia berunding selain tekanan opemerintah
adalah keinginan dari perusahaan untuk menjaga hubungan baik dengan pemerintah.
Budaya ewuh-pakewuh melahirkan
kondisi dimana perusahaan dalam posisi sungkan karena selama ini pihak
Pemerintah tidak melakukan tindakan atas pelanggaran atau pencemaran yang
terjadi, maka untuk membalas sikap toleransi dari pemerintah agar hubungan tetap
baik maka perusahaan bersedia untuk melakukan perundingan.
Bahwa disamping adanya faktor-faktor
tersebut diatas, Penulis menemukan faktor lain yang mendorong para pihak
bersedia untuik berunding ke meja mediasi yaitu adanya tekanan dari pihak
Yudikatif. Tekanan pihak yudikatif untuk para pihak bersedia melakukan mediasi
terjadi pada kasus Bhopal Leaks Gas yang terjadi di wilayah Bhopal di distrik
Madyapradesh India. Dalam kasus Bhopal misalnya pertimbangan utama Mahkamah Agung India
untuk menjadi mediator dan menawarkan solusi final atas masalah Bhopal adalah
karena alasan kemanusiaan.Hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan MA India
sebagai berikut: The
supreme court considered it a compelling duty both judicial and humane to
secure immediate relief to the victim.
Dalam proses pemeriksaan di tingkat
Mahkama Agung, para pihak dalam sengketa Bhopal yaitu United of India selaku penggugat melawan United Carboine Corporation selaku pencemar dipanggil oleh
Mahkamah Agung dan diarahkan untuk menerima penyelesaian secara mediasi. Dalam
mediasi itu hakim pada Mahkamah Agung India menawarkan penyelesaian final
melalui pembayaran ganti rugi sebesar USD.470.000.000 ( Empat ratus tujuh puluh
juta dolar amerika serikat ) dan apabila para pihak setuju maka Mahkamah Agung
akan membatalkan semua kasus terkait Bhopal baik gugatan perdata maupun pidana.
Bahwa atas proposal Mahkamah Agung
tersebut, para pihak setuju untuk berdamai dan Mahkamah Agung India
mengeluarkan Order (Perintah ) yang
isinya mengenai jadwal pembayaran ganti rugi yang harus di bayarkan oleh UCC
kepada Union of India.Jadwal
penggunaan uang hasil ganti rugi yang di terima oleh Union of India kepada
korban tragedi Bhopal. Mahkamah Agung India bahkan juga mengekuarkan Order D sebagai perintah Mahkamah Agung
kepada pengadilan dibawahnya untuk menghentikan seluruh proses gugatan dan
tuntutan pidana terkait tragedi Bhopal.
Bahwa melihat efektifitas mediasi dalam penyelesaian sengketa
lingkungan hidup baik yang ada di Indonesia maupun di India, Mediasi merupakan
model yang tepat dan efektif dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
Penyelesaian win-win solution dalam
Mediasi menjadi kelebihan dari model penyelesaian yang lain dimana kepentingan
sedapat mungkin diakomodir sebagai hasil kesepakatan Mediasi. Kesediaan para
pihak untuk menyelesaian persoalan secara damai dan menerima dan mengakomodir
keinginan dari masing-masing pihak menjadikan Mediasi merupakan sarana yang
tepat dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang berkeadilan, dan bahkan
dalam sengketa lingkungan hidup yang
memiliki dampak yang sangat besar
dan kerugian jiwa yang banyak seperti dalam kasus Bhopal, mediasi mampu memberikan solusi efektif penyelesaian
sengketa.
B.
Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Melalui Mediasi di Dalam Pengadilan Maupun Di Luar Pengadilan Dikaitkan dengan
Penegakan Hukum
Mediasi sebagai suatu mekanisme alternatif
penyelesaian sengketa menawarkan suatu mekanisme penyelesaian yang cepat.
Mediasi yang pada awalnya merupakan mekanisme penyelesaian diluar pengadilan
saat ini semakin berkembang yaitu mediasi tidak hanya dilakukan diluar pengadilan
akan tetapi juga dapat dilakukan di dalam pengadilan.
Mediasi baik yang dilakukan di dalam
pengadilan maupun di luar pengadilan di Indonesia mempunyai ciri khas
tersendiri, sehingga patut untuk dapat diketahui dimana perbedaan dan
persamaanya.
1.
Mediasi di dalam Pengadilan
Di
IndonesiaProsedur
mediasi di dalam pengadilan pertama kali dijamin keberadaannya dalam hukum di
Indonesia pada tahun 2003 melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 02/2003 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan ini kemudian direvisi dengan
Peraturan Mahkamah Agung No. 01/2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Berdasarkan peraturan tersebut, sengketa lingkungan keperdataan termasuk
sengketa yang apabila diajukan ke pengadilan wajib melalui prosedur mediasi.
Apabila kesepakatan tidak tercapai dalam proses tersebut, maka penyelesaian
sengketa dapat dilanjutkan ke proses litigasi. Sesuai
Perma No.1 Tahun 2008, dalam setiap proses gugatan hakim harus mendorong para
pihak untuk melakukan mediasi karena apabila hal tersebut diabaikan maka
putusannya batal demi hukum.
Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator
kepada Hakim yang bersangkutan diberi waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan
dapat diperpanjang apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan Ketua
Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara
sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 Tahun 1992. Persetujuan para pihak
dituangkan dalam persetujuan tertulis dan ditandatangani, kemudian dibuatkan
Akte Perdamaian (dading), agar dengan
Akte Perdamaian itu para pihak dihukum untuk menepati apa yang disepakati atau
disetujui bersama. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat
dijadikan bahan penilaian (reward)
bagi hakim yang menjadi fasilitator/mediator. Namun SEMA tersebut dapat
dikatakan tidak berhasil, karena pada hakekatnya hakim bukan mediator yang baik
dan ada keengganan hakim melakukan proses mediasi.
Mediasi mendapat kedudukan penting dalam Perma No. 1 Tahun
2008, karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses
berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa
melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi,
maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat 3 Perma No. 1 Tahun
2008). Oleh karenanya, hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib
menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui
mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Dalam ketentuan Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan
bahwa, “perkara yang dapat diupayakan melalui mediasi adalah kecuali perkara
yang diselesaikan melalui pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial,
keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas
putusan Komisi Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke
Pengadilan tingkat pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui
perdamaian dengan bantuan mediator.”
Perma No. 1 Tahun 2008 memberikan peluang perdamaian bagi
para pihak bukan hanya untuk tingkat pertama, tetapi juga untuk tingkat
banding, kasasi dan peninjauan kembali. Dalam ketentuan Pasal 21 disebutkan
bahwa, para pihak atas dasar kesepakatan mereka dapat menempuh upaya perdamaian
terhadap perkara yang sedang diproses banding, kasasi atau peninjauan kembali
atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi dan
peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Para pihak untuk
menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan
tingkat pertama yang mengadili, dan ketua pengadilan tingkat pertama segera
memberitahukan kepada ketua pengadilan tingkat banding yang berwenang, atau
ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.
Majelis hakim pemeriksa tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali wajib
menunda pemeriksaan perkara selama 14 (empat belas) hari kerja, sejak menerima
pemberitahuan tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.
Perdamaian terhadap perkara dalam proses banding, kasasi atau
peninjauan kembali dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut
pada tingkat pertama atau di tempat lain atas persetujuan para pihak. Para pihak melalui ketua pengadilan tingkat pertama dapat
mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim tingkat
banding, kasasi atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta
perdamaian. Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim banding, kasasi,
atau peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak dicatat dalam register induk perkara.
Dalam fase mediasi di pengadilan, para pihak
dengan di dorong oleh hakim harus memanfaatkan secara maksimal mediasi
tersebut. Akan tetapi dalam praktek seringkali hal tersebut tidak
dimaksimalkan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan para pihak dalam
sengketa tidak memanfaatkan mediasi didalam pengadilan secara sungguh-sungguh
yaitu pertama sikap skeptis dari para pihak terhadap perdamaian yang dilakukan
dalam proses mediasi yang terintegrasi dengan pengadilan, kedua adanya rasa
gensi dan ingin menang sendiri, ketiga para pihak menganggap proses mediasi
hanya formalitas belaka dan yang kelima bahwa para pihak dan hakim menganggap
bahwa proses mediasi hanya membuang waktu.
Dalam praktek salah satu pengalaman sukses mediasi di Pengadilan untuk
penyelesaian sengketa lingkungan hidup adalah dalam kasus Bhopal di India.
Mahkamah Agung dalam posisi aktif untuk mendorong terjadinya mediasi
dan pencapaian kesepakatan dimana saat proses pemeriksaan, tahun 1989
Mahkamah Agung India bertindak selaku mediator menawarkan penyelesaian
final yaitu tentang besaran ganti rugi yang harus dibayar oleh UCC adalah
US$.470.000.000 dan pembatalan seluruh gugatan perdata dan penuntutan kepada
para pelaku pencemaran.
Dalam kasus Bhopal tersebut, inisiatif untuk
membuka mediasi dilakukan oleh Mahkamah Agung India di tengah pemeriksaan di
tingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Hakim yang menagani kasus tersebut secara
aktif mengambil peran dengan menawarkan jumlah kompensasi kepada kedua belah
pihak apakah akan disetujui atau tidak. Pengalaman India dalam kasus Bhopal ini
menjadi suatu pembelajaran bahwa dalam mediasi Hakim mediator memiliki peran
yang sangat penting dalam penyelesaian sengeta tersebut dan dalam pelaksanaan
tugasnya, hakim Mediator harus mengambil
inisiatif dan mampu membuat proposal yang dapat diterima oleh kedua belah
pihak.
Pengalaman penyelesaian sengketa dalam kasus
Bhopal juga merupakan suatu faktor baru dimana tekanan Yudikatif menjadi salah
satu faktor yang mendorong keberhasilan penggunaan mediasi sebagai sarana
altenatif penyelesaian sengketa.
Dalam pengalaman mediasi di pengadilan
Indonesia seringkali dianggap sebagai formalitas belaka, Menurut I Made Sukadana terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
para pihak dalam sengketa tidak memanfaatkan mediasi didalam pengadilan secara
sungguh-sungguh yaitu pertama sikap skeptis dari para pihak terhadap perdamaian
yang dilakukan dalam proses mediasi yang terintegrasi dengan pengadilan, kedua
adanya rasa gengsi dan ingin menang sendiri, ketiga para pihak menganggap
proses mediasi hanya formalitas belaka dan yang kelima bahwa para pihak dan
hakim menganggap bahwa proses mediasi hanya membuang waktu.
Jika mediasi di Pengadilan dimanfaatkan
dengan maksimal oleh para pihak yang bersengketa maka akan sangat membantu
dalam percepatan penyelesaian sengketa lingkungan hidup karena sengketa dapat
diselesaiakan tanpa harus melalui tahapan-tahapan menurut hukum acara dan
dengan demikian maka perbaikan kepada lingkungan dan korban dapat segera
dilakukan.
2.
Mediasi di Luar Pengadilan
Berbeda
dengan mediasi yang dilakukan dalam proses pengadilan, Mediasi yang dilakukan
di luar pengadilan difasilitasi oleh lembaga penyelesaian sengketa atau pihak
lain yang bertindak sebagai mediator. Proses penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan cara
menggunakan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup menurut Peraturan Pemerintah No. 54/2000, dapat mengajukan
laporan atau pengaduan kepada instansi yang terkait di bidang pengadilan atau
pengelolaan lingkungan hidup dalam hal terjadinya perusakan atau pencemaran
lingkungan hidup. Instansi yang menerima pengaduan tersebut dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari wajib melakukan verifikasi tentang pengaduan tersebut,
yang kemudian hasil verifikasi tersebut disampaikan kepada lembaga penyedia
jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga jasa yang menerima
permohonan bantuan tersebut dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak menerima
hasil verifikasi wajib mengundang para
pihak yang bersengketa.
Proses mediasi yang dilakukan oleh penyedia jasa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, tetap memberikan kesempatan
kepada para pihak yang bersengketa untuk bebas menunjuk mediator dari lembaga
penyedia jasa yang dibentuk. Kesepakatan yang dibuat oleh para pihak sebelum
memulai proses mediasi dimulai memuat perihal sebagai berikut :
1.
Masalah yang dipersengketakan;
2.
Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
3.
Nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga
lainnya;
4.
Tempat para pihak melaksanakan perundingan;
5.
Batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa;
6.
Pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya;
7.
Pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak
yang bersengketa untuk menanggung biaya;
8.
Larangan pengungkapan dan/atau pernyataan yang menyinggung
atau menyerang pribadi;
9.
Kehadiran pengamat, ahli dan/atau narasumber;
10.
Larangan pengungkapan informasi tertentu dalam proses
penyelesaian sengketa secara musyawarah kepada masyarakat;
11.
Larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil
kesepakatan.
Sedangkan ketika proses
mediasi telah berakhir dan mencapai suatu kesepakatan, maka hal tersebut harus
dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang berisikan hal-hal sebagai
berikut :
1.
Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
2.
Nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga
lainnya;
3.
Uraian singkat sengketa;
4.
Pendirian para pihak;
5.
Pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga
lainnya;
6.
Isi kesepakatan;
7.
Batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan;
8.
Pihak yang melaksanakan isi kesepakatan.
Kesepakatan tersebut ditulis
di atas kertas bermaterai dan ditanda tangani oleh para pihak beserta mediator
atau pihak ketiga lainnya yang terlibat dalam proses mediasi tersebut. Dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak ditanda tanganinya kesepakatan tersebut,
maka salinan otentik wajib didaftarkan
oleh mediator atau pihak lainnya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Dalam suatu sengketa lingkungan
hidup, Lembaga Swadaya Masyarakat memliki peran penting, dimana kehadiran LSM
dalam mediasi tersebut agar pihak yang diwakili atau yang didampingi tersebut
dalam hal ini korban pencemaran lingkungan mendapatkan perlindungan hukum dan
kesetaraan selama proses mediasi. Kehadiran LSM memberikan dorongan kepercayaan
diri korban untuk terus menerus menjalani proses mediasi untuk mendapatkan
hak-haknya.
Dalam proses mediasi,
menginggat pihak korban sering kali mempunyai kondisi baik secara ekonomi
maupun politis dibawah pihak perusahaan, LSM membantu para korban tersebut agar
percaya diri dalam melakukan mediasi dengan pihak perusahaan. Dalam 17 kasus
sengketa lingkungan hidup yang diteliti, 12 kasus diantaranya yaitu sengketa
lingkungan hidup Palur Raya, KLI, KEM, Tawang Mas, Knasritex, Sumber sehat,
Indoacidatama, ciujung, Nagamas, Sungai Sombang, Sungai Siak, Tyafountex dan
sungai Tapak masyarakat yang bersengketa dengan perusahaan-perusahaan tersebut
telah didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat baik sebelum maupun selama
proses Mediasi.
Disamping
LSM, dalam beberapa kasus, terdapat peran pejabat Pemerintah Kota
atau Kabupaten atas penugasan dari Walikota atau Bupati juga telah bertindak
sebagai mediator dalam sengketa-sengketa lingkungan hidup. Mediasi yang dijalankan oleh pejabat kementerian lingkungan hidup dalam
menyelesaikan kasus-kasus sengketa lingkungan hidup, meskipun
dalam jabaran tugas pokok dan fungsi Kementerian Lingkungan tidak ada ketentuan
yang secara tegas menyebutkan bahwa lembaga ini berwenang menjalankan fungsi
mediasi, namun ketika para penduduk korban pencemaran lingkungan dan lembaga swadaya
masyarakat di bidang lingkungan mengadu kepada Kementerian Lingkungan Hidup
tentang terjadinya kerugian lingkungan, pejabat di lingkungan Kementerian
Lingkungan Hidup tidak serta merta menggunakan kewenangan sebagai pemerintah
untuk menegakkan hukum secara top down,
tetapi berusaha mencari penyelesaian win-win dengan cara bertindak sebagai
mediator yang memfasilitasi perundingan antara pihak pengadu dan pihak yang
diadukan, yakni untuk membahas solusi-solusi yang dapat dihasilkan.
Walaupun efektif dalam
penyelesaian sengketa, Mediasi juga membawa kelemahan yaitu kepatuhan para
pihak untuk melaksanakan kewajiban yang telah disepakati dalam mediasi, dalam
kasus PT.SSS misalnya walaupun telah sepakat dalam proses Mediasi terkait jumlah
ganti rugi, akan tetapi dalam pelaksanaannya secara sepihak membatalkan dan
membayar uang ganti rugi dibawah jumlah yang disepakati dalam mediasi.
Ketidakpatuhan salah satu pihak untuk melaksanakan hasil mediasi sifatnya hanya
kasuistis, tidak dapat dilakukan generalisasi, karena walaupun kesepakatan yang
dilakukan di luar pengadilan, dalam beberapa kasus seperti kasus Kanasritex dan
Kasus Sungai Tapak, pihak perusahaan melaksanakan komitmen yang telah
disepakati dalam mediasi.
Disamping memberikan dorongan
untuk terciptanya Mediasi yang sehat, pihak ketiga kadang kala justru kontra
produktif dan mencederai semangat musyawarah untuk mufakat., misalnya dalam
kasus Tembok dukuh misalnya, pejabat pemerintah justru
menjadi alat penekan bagi korban untuk
menerima jumlah kompensasi yang ditawarkan oleh pencemar, walaupun pejabat
pemerintah daerah mendukung proses mediasi akan tetapi disatu sisi juga menekan
agar warga menerima jumlah kompensasi.
Penegakan
hukum lingkungan menurut pandangan para ahli berbagai macam pandangan
diantaranya menurut Mas Achmad Santosa, untuk
mencapai penataan, penegakan hukum bukanlah satu-satunya cara, berbagai cara
atau pendekatan dapat dilakukan antara lain melalui instrumen ekonomi, edukasi,
bantuan teknis dan tekanan publik (public
pressure). Pendekatan penataan dapat ditempuh melalui pendekatan Command And Control (CAC) atau atur dan awasi (ADA), pendekatan
ekonomis, pendekatan perilaku (behaviour),
dan pendekatan pendayagunaan tekanan publik (public
pressure).
Menurut F.P.C.L. Tonnaeer, membedakan tiga macam
bentuk penegakan hukum, yaitu administratief
rechttelijke handhaving (penegakan hukum administrasi), strafrechtelijke handaling (penegakan
hukum pidana), dan privaatrechtelijke
(penegakan hukum perdata).
Menurut Daud Silalahi, bahwa penegakan hukum
lingkungan di Indonesia ini mencakup penataan dan penindakan (compliance and enforcement). Oleh
karena itu program penegakan hukum lingkungan nasional mencakup :
a. Pengembangan sistem penegakan hukum.
b. Penataan kasus-kasus prioritas yang perlu
diselesaikan secara hukum.
c. Peningkatan kemampuan aparat penegak hukum.
d. Peninjauan kembali Undang-undang Gangguan.
Menurut Keith Hawkins, penegakan hukum dapat dilihat
dari dua sistem atau strategi, yang disebut compliance
(pemenuhan) dengan concilatory style
(perdamaian) sebagai karakteristiknya dan sanctioning
(sanksi) dengan penal style
(penghukuman) sebagai karakteristiknya.
Dari
pendapat di atas dapat dikatakan dalam penegakan hukum lingkungan hidup bukan semata-mata dalam penegakan berupa penindakan atau sanksi
tapi dapat juga dengan penataan yang berbentuk conciliatory style (yang bersifat mendamaikan). Disamping itu juga
menciptakan kondisi ramah tamah antar pihak untuk mencari penyelesaian atas sengketa
yang terjadi secara musyawarah. Kondisi psikologis yang jauh dari rasa
permusuhan menghadirkan kondisi saling pengertian dan bijaksana dalam
penyelesaian masalah sehingga yang
timbul adalah kejujuran untuk menciptakan keadilan dengan menyamakan
persepsi dalam mencari solusi terhadap lingkungan yang telah rusak dan
tercemar, karena untuk ekosistem yang telah rusak dan tercemar tidak ada
tindakan yang paling bermanfaat kecuali memperbaiki lingkungan dan mencegah
terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan kembali.
Sehingga
dapat dikatakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan mediasi merupakan
bagian dari penegakan hukum lingkungan yang efektif dapat diterapkan, terlebih
lagi aturan tentang penyelesaian secara mediasi telah tersurat dalam UU PPLH
No. 32 tahun 2009.Jika melihat statistik keberhasilan penyelesaian sengketa
lingkungan hidup secara mediasi dengan
litigasi lebih baik dan efektif yang dilakukan secara mediasi. Oleh karena itu
kedepannya sudah dapat diatur oleh aturan hukum perundang-undangan tentang penyelesaian
sengketa lingkungan hidup secara mediasi bagian dari penegakan hukum lingkungan
hidup, baik yang dilakukan di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan.
3.
KONSEP MEDIASI SEBAGAI SARANA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
DI INDONESIA
Bahwa mengacu pada teori keadilan
yang disampaikan oleh Rawls dan teori Hukum Pembangunan serta teori penegakan
hukum yang dipadukan hukum lingkungan sebagaimana telah diuraikan dalam BAB I
dimana dalam penyelesaian sengketa
lingkungan dapat diselesaiakan dengan win
win solusion, dengan prinsip siapa yang melakukan pencemaran maka dia yang
akan mengganti biaya pencemarannya, sehingga akan mendukung terwujudnya
kesejahteraan umum dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pemasukan
dibidang industri baik migas maupun non migas dalam pembangunan berkelanjutan.
Bahwa
dengan penyelesaian secara mediasi tidak ada saling tunding menunding dari para
pihak yang bersengketa, namun yang ada akan
timbul adalah kejujuran untuk menciptakan keadilan dengan menyamakan
persepsi dalam mencari solusi terhadap lingkungan yang telah rusak dan
tercemar, karena untuk ekosistem yang telah rusak dan tercemar tidak ada
tindakan yang paling bermanfaat kecuali memperbaiki lingkungan dan mencegah
terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan kembali.
Disamping
itu dengan penyelesaian melalui Mediasi akan didapatkan hasil yang maksimal
dengan waktu yang minimal sehingga dapat memberikan recovery kepada korban dan lingkungan. Dengan adanya recovery yang cepat terhadap lingkungan
maka akan menjaga keberlangsungan (
sustainability )dari lingkungan sendiri sehingga dapat dimanfaatkan kembali
untuk kepentingan pembangunan. Melihat efektifitas dari Mediasi dalam
penyelesaian sengketa lingkungan, maka perlu di dorong agar supaya Mediasi
menjadi mekanisme utama dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup termasuk
sengketa lingkungan hidup yang termasuk dalam kategori pidana dengan cara
menerapkan sistem mediasi penal.
Konsep
Mediasi yang dijadikan model utama adalah konsep mediasi final settlement yang diterapkan oleh India dalam Kasus Bhopal,
dimana penyelesaian model Bhopal tersebut dapat memberikan penyelesaian yang
cepat, final dan menghasilkan kepastian hukum bagi semua pihak. Konsep Mediasi
dalam kasus Bhopal juga sesuai dengan konsep keadilan yang dikemukakan oleh
John Rawls dimana dalam penyelesaian tersebut semua pihak dengan segala
kejujuran menciptakan keadilan dengan menyamakan persepsi dalam mencari solusi
terhadap pencemaran yang terjadi di Bhopal tersebut baik recovery terhadap korban maupun recovery terhadap lingkungan.
Disamping itu model Bhopal tersebut juga
membawa para pihak menjadi saling memaafkan dimana pihak korban bersedia untuk
tidak melakukan gugatan maupun penuntutan kepada para pelaku setelah mereka
menerima hasil mediasi walaupun dalam peristiwa tersebut jatuh korban yang
sangat banyak serta kerusakan lingkungan yang besar.
Konsep
mediasi Bhopal tersebut juga mencakup konsep Mediasi Penal,
dimana penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang berkategori pidana diselesaikan
dengan mediasi dan pembatalan penuntutan. Mediasi penal dengan mengesampingkan
penuntutan pidana bukan hal yang baru dalam penegakan hukum di Indonesia karena
system ini pernah diterapkan dalam penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia ( BLBI ). Dalam kasus BLBI pemerintah
memutuskan untuk menyelesaikan masalah BLBI tersebut memalui mekanisme out of court settlement seperti
dikehendaki International Monetary Fund
( IMF ). Mekanisme yang ditenpuh pemerintah saat itu adalah Penyelesaian
melalui jaminan asset ( Master Settlement
and Acquisition Agreement/ MSAA ) dan penyelesaian melalui jaminan pribadi
dan asset. Hal yang terpenting dalam penyelesaian tersebut adalah pemerintah
mengesampingkan penuntutan dari Debitur atas pelanggaran praktek perbankan jika
debitur tersebut yang bersedia menyelesaikan masalah Bantuan Likuiditas bank
Indodnesia melalui salah satu dari 2 ( dua ) mekanisme tersebut.
Konsep penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang ditawarkan adalah menitikberatkan kepada peran besar pemerintah
sebagai regulator serta didukung oleh pihak lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), Media massa yang bertindak selaku kekuatan penekan dan pengadilan
sebagai kekuatan penekan terakhir dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
Konsep penyelesaian sengketa yang
ditawarkan menggunakan pendekatan tahapan ( fase ) dimana, sedapat mungkin
penyelesaian sengketa lingkungan hidup diselesaian pada masa awal sehingga
lebih menghemat waktu dan mempercepat pemulihan baik kepada lingkungan maupun
kepada korban. Disamping itu Mediasi dapat dilaksanakan pada masa kapanpun,
bahkan apabila sengketa lingkungan hidup tersebut nantinya diselesaikan di
pengadilan, usaha mediasi tidak hanya pada masa awal pemeriksaan perkara di
tingkat Pengadilan Negeri, akan tetapi dalam masa upaya hukum ( banding,
kasasi, Peninjauan kembali ) upaya mediasi tetap dapat dilaksanakan.
Penciptaan model mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan
hidup yang lebih efektif merupakan salah satu bentuk penggunaan hukum sebagai
control dan menjadi kepastian bagi masyarakat dalam menciptakan keseimbangan
dan keserasian antara pembangunan mencapai taraf kesejahteraan dan kemakmuran
dengan pemamfaatan sumber daya alam yang ada sehingga hukum dapat diarahkan
untuk mencapai suatu pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
sehingga terwujudnya suatu pembangunan yang berkelanjutan.
Penggunaan model mediasi yang
ditawarkan sebagai pilihan utama untuk menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup
diharapkan dapat merubah pola berfikir para pihak untuk dapat menyelesaikan
suatu sengketa secara damai, cepat dan berbiaya murah melalui mediasi dibanding
melalui jalur litigasi yang selama ini menjadi tumpuan utama untuk
menyelesaiakan sengketa. Dalam kondisi demikian hukum ditempatkan tidak hanya
sebagai alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat akan tatapi hukum
juga digunakan untuk membantu proses perubahan masyarakat.
1.
Penyelesaian Sengketa Lingkungan dengan
Mediasi di luar Pengadilan.
Konsep penyelesaian yang ditawarkan
adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui tahapan-tahapan secara
berjenjang, dengan menitik beratkan kepada penyelesaian non litigasi dan penyelesaian litigasi adalah jalan terakhir
manakala seluruh proses non litigasi
telah ditempuh dan mengalamai kegagalan.
Penyelesaian sengketa lingkungan hdup
fase pertama ini adalah suatu proses pencarian fakta atas pencemaran lingkungan
hidup yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang bertanggungjawab terhadap
masalah lingkungan baik pusat maupun daerah yang dilakukan segera setelah
mendapatkan informasi atau pengaduan dari masyarakat atas terjadinya pencemaran
lingkungan hidup. Pada proses pencarian fakta tersebut, pihak pemerintah
diberikan wewenang untuk memanggil pihak-pihak yang terkait, mengambil sample
limbah serta kewenangan lain yang diperlukan untuk mengungkap ada atau tidaknya
pencemaran lingkungan seperti yang di laporkan.
Selanjutnya setelah melakukan
pencarian fakta dan mendapatkan kesimpulan, apabila ditemukan pencemaran
seperti yang dilaporkan maka Pemerintah Daerah atau Pusat sebagai regulator
akan melakukan kalkulasi kerugian serta recovery
yang diperlukan untuk memulihkan lingkungan yang tercemar tersebut. Hasil
pemeriksaan yang didalamnya terdapat faktafakta hasil pemeriksaan serta
estimasi biaya pemulihan baik kepada korban maupun lingkungan diserahkan oleh
pihak pemerintah kepada pihak yang diduga melakukan pencemaran serta disertai
peringatan kepada pencemar tersebut. Selanjutnya apabila pihak yang diduga
melakukan pencemaran menerima hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pemerintah
termasuk dalamnya menerima kewajiban untuk membayar kerugian serta recovery atas lingkungan yang tercemar
maka akan dibuat Akta Pernyataan Menerima Hasil Pemeriksaan Lingkungan sebagai
bukti penerimaan pihak pencemar atas hasil pemeriksaan dugaan pencemaran
lingkungan hidup. Dengan penerimaan hasil tersebut maka permasalahan dianggap
selesai dan proses selanjutnya adalah pelaksanaan dari perintah yang harus
dilakukan oleh pihak pencemar sebagaimana telah tercantum dalam hasil pemeriksaan.
Begitu juga sebaliknya jika pihak
yang diduga pencemar tidak menerima hasil pemeriksaan, maka Pemerintah akan
meminta kepada pihak pencemar dan masyarakat ( korban ) untuk menyelesaiakna
sengketa tersebut melalui mediasi, Para pihak diberikan keleluasaan untuk
menunjuk mediator. Dalam kondisi demikian pihak pemerintah selaku regulator
yang memiliki kewenangan untuk memberikan ijin operasional kepada suatu
perusahaan akan mengunakan kewenangan tersebut untukbertindak sebagai penekan
kepada para pihak untuk bersedia bermediasi menyelesaiakan sengketa yang
dihadapi. Jika pihak pencemar tetap tidak bersedia untuk menyelesaiakan melalui
mediasi, maka pemerintah akan mencabut ijin operasional dari perusahaan.
Tekanan pemerintah dalam bentuk pencabutan ijin tersebut sangat efektif dan
memberikan efek deteren yang sangat besar, karena dengan dicabutnya ijin
operasi menjadikan perusahaan tidak dapat menjalankan aktifitas produksi
sehingga dari sisi keuangan akan merugikan.
Skema penyelesaian sengketa fase pertama dapat divisualisasikan dalam gambar berikut ini:
Skema penyelesaian sengketa fase pertama dapat divisualisasikan dalam gambar berikut ini:
Pada penyelesaian fase pertama ini
seluruh proses masih bersifat administrative tanpa melibatkan pengadilan serta
dilakukan pada fase awal timbulnya sengketa yang diakibatkan adanya pencemaran
lingkungan dan di harapkan tercapai penyelesaian yang cepat sehingga pemulihan
baik korban maupun ligkungan dapat segera dilakukan.
2.
Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Dengan Mediasi Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui
mediasi di pengadilan merupakan fase kelanjutan dari fase pertama dimana pihak
pencemar tidak bersedia untuk menerima hasil pemeriksaan lingkungan yang
dilakukan oleh pemerintah dan tidak bersedia melakukan mediasi. Maka
penyelesaian yang dilakukan melalui gugatan di pengadilan.
Sesuai
Perma No.1 Tahun 2008, dalam setiap proses gugatan hakim harus mendorong para
pihak untuk melakukan mediasi karena apabila hal tersebut diabaikan maka
putusannya batal demi hukum. Seperti dalam Kasus Bhopal misalnya, Pengadilan
dalam posisi aktif untuk mendorong terjadinya mediasi dan pencapaian
kesepakatan, sehingga yang harus diubah adalah tindakan dari hakim mediasi dari
posisi pasif menjadi posisi aktif. Dalam kasus Bhopal, pada
saat proses pemeriksaan, tahun 1989
Mahkamah Agung India bertindak selaku mediator menawarkan penyelesaian
final yaitu tentang besaran ganti rugi yang harus dibayar oleh UCC adalah
US$.470.000.000 dan pembatalan seluruh gugatan perdata dan penuntutan kepada
para pelaku pencemaran..
Menurut
I Made Sukadana terdapat beberapa faktor yang menyebabkan para pihak dalam
sengketa tidak memanfaatkan mediasi didalam pengadilan secara sungguh-sungguh
yaitu pertama sikap skeptis dari p[ara pihak terhadap perdamaian yang dilakukan
dalam proses mediasi yang terintegrasi dengan pengadilan, kedua adanya rasa
gensi dan ingin menang sendiri, ketiga para pihak menganggap proses mediasi
hanya formalitas belaka dan yang kelima bahwa para pihak dan hakim menganggap bahwa
proses mediasi hanya membuang waktu.
Maka
untuk mencegah apa yang disampaikan oleh I Made Sukadana tersebut, hal yang
harus diubah dalam mekanisme mediasi yang dilakukan didalam pengadilan adalah
sikap para pihak dan hakim bahwa proses mediasi bukanlah hanya masalah
prosedural hukum acara yang harus ditempuh akan tetapi suatu proses penting
yang harus ditempuh secara sunggguh-sungguh untuk menyelesaiakan sengketa
secara lebih cepat, sederhana dan berbiaya murah. Disamping itu sedapat mungkin
dalam mediasi, hakim mediasi melakukan
upaya aktif dan mampu membuat proposal penyelesaian yang dapat diterima oleh
para pihak yang bersengketa, yang terpenting dalam sengketa lingkungan hidup,
hakim dalam membuat proposal mediasi harus lebih memberikan perhatian atas
masalah recovery lingkungan yang
telah tercemar dan korban. Sebagai perbandingan dalam kasus Bhopal misalnya,
salah satu alasan Mahkamah Agung India memawarkan solusi final dalam mediasi
adalah recovery terhadap korban dan
lingkungan yang telah tercemar.
Proses
mediasi di Pengadilan mekanisme sama seperti mediasi yang selama ini telah ada
dimana mediasi harus ditempuh sebelum pemeriksaan perkara dimulai, namun
perbedaan yang mendasar dalam proses ini hakim akan berperan aktif dalam
mengarahkan para pihak untuk medisi dan bahkan hakim dapat menggunakan
kewenangannya untuk dapat menekan pihak yangb melakukan pencemaran agar masuk
ke dalam penyelesaian secara mediasi. Sehingga jika mediasi ini dapat
dijalankan maka hakim dapat memberikan putusan untuk perkara-perkara lain yang
menyangkut dalam perkara pencemaran ini dapat dicabut atau dibatalkan oleh
pihak tercemar atau pihak yang dirugikan.
Jika
mediasi gagal dicapai kesepakatan, maka proses litigasi baru dapat
dilaksanakan. Dalam proses upaya hukum, pintu mediasi masih dapat dilaksanakan,
dimana inisiatif dapat dilakukan oleh para pihak atau hakim pada tingkat upaya
hukum. Dalam kasus Bhopal misalnya, walaupun telah gagal dalam proses awal dan
para pihak telah menempuh upaya litigasi dalam tingkat pengadilan Distrik dan
Pengadilan Tinggi, pada saat pemeriksaan kasasi, Mahkamah Agung India membuka
kembali pintu mediasi dan menawarkan solusi penyelesaian yang akhirnya diterima
oleh kedua belah pihak.
Dalam proses mediasi
di pengadilan ini, apabila tercapai kesepakatan maka akan dibuatkan Penetapan
Pengadilan dan apabila sengketa lingkungan hidup tersebut masuk dalam
berkategori pidana, maka hasil kesepakatan tersebut menjadi dasar penghentian
tuntutan pidana. Melalui mekanisme tersebut diharapkan sengketa lingkungan
hidup dapat diselesaikan dengan cepat sehingga tercapai suatu harmoni sosial
yaitu tiada lagi permusuhan, lingkungan dan dapat segera dipulihkan dan
pembangunan ekonomi tetap berjalan.
Bilamana kedua model
mediasi ini dapat diterapkan dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan hidup
maka wadah mediasi dapat menjadi pilihan utama dalam penyelesaian sengketa
lingkungan hidup dan bukan sebagai alternatif pilihan.
Dengan demikian
model mediasi yang dikembangkan akan menjadi model mediasi sebagai berikut :
1)
Mediasi yang dapat memiliki
kemampuan untuk menjadi pilihan penyelesaian sengketa yang menarik bagi
masyarakat, yang prosedur mediasi tersebut bersifat fleksibel, cepat dan murah
serta dapat terbebas dari korupsi dan kolusi.
2)
Mediasi yang mempunyai kemampuan
sebagai wadah peran serta masyarakat dalam penyelesaian sengketa dan wadah
permusyawaratan, permufakatan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila.
3)
Mediasi yang memiliki kemampuan
untuk mengakomodir berbagai kepentingan pihak-pihak yang bersengketa, secara
adil dan merata sehingga dapat melahirkan kesepakatan atau hasil yang bersifat
“menang-menang”.
4)
Mediasi yang diupayakan
semaksimal mungkin merupakan refleksi dari akar budaya masyarakat Indonesia.
5)
Mediasi yang akanmenjadi bagian
dalam penegakan hukum penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia.
3.
Penerapan Mediasi Penal atas kasus Sengketa
Lingkungan hidup yang termasuk kategori Pidana.
Bahwa
dalam rezim Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Indonesia
penyelesaian sengketa lingkungan hidup selain dilakukan melalui jalur
pengadilan juga didorong adanya penyelesaian yang dilakukan diluar pengadilan
salah satunya melalui Mediasi.
Seperti diuraikan dalam kasus Bhopal diatas bahwa
mediasi ternyata cukup efektif dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidupo
bahkan untuk suatu pencemaran lingkungan hidup yang terjadi secara massive baik
korban maupun kerusakan lingkungannya. Seperti dijelaskan diatas bahwa rezim perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia memberikan
batasan tentang sengketa lingkungan hidup yang dapat diselesaikan diluar
pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 84 ayat (1) UU PPLH No.32 Tahun 2009.
Adanya pembatasan tersebut menjadikan Mediasi
sebagai salah satu bentuk alternative penyelesaian sengketa hanya dapat
diterapkan dalam hal terkait masalah keperdataan seperti ganti rugi, sengketa
lingkungan hidup mempunyai kategori pidana tidak diberikan ruang untuk
diselesaikan dengan jalan mediasi.
Melihat keberhasilan dalam kasus Bhopal dimana
penyelesaian dilakukan dengan mediasi, maka penulis mengusulkan untuk
menerapkan sistem mediasi penal untuk penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang masuk dalam kategori pidana. Pilihan ini tidak lepas dari
pemikiran bahwa dalam penyelesaian sengketa lingkungan baik yang masuk dalam
kategori pidana harus mengedepankan pada aspek recovery korban dan lingkungan. Tindakan yang harus dilakukan adalah melakukan
amandemen Undang-Undang Lingkungan hidup khususnya terkait penyelesaian
pencemaran lingkungan hidup, dimana tidak perlu lagi adanya pembatasan
materi atau masalah yang dapat
diselesaikan diluar pengadilan sebagaimana Pasal 84 ayat (1) UU No.32 Tahun
2009. Terkait pasal Pasal 85 ayat (2) yang memberikan batasan bahwa
penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui out of court settlement tidak sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam kategori tindak pidana,
penulis mengusulkan agar dimasukkannya aturan bahwa dimungkinkannya
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam ketegori pidana untuk diselesaikan
melalui Mediasi.
Penyelesaian masalah pidana melalui mediasi telah
diterima dalam praktek penegakan hukum, seperti disampaikan oleh Susanti Adi
Nugroho bahwa telah banyak Negara-negara di Uni Eropa yang menggunakan mediasi
dalam penyelesaian kasus-kasus pidana. Mediasi untuk kasus sengketa lingkungan hidup yang masuk kategori pidana
dapat dilakukan dengan persyaratan bahwa Pelaku bersedia memberikan santunan,
ganti rugi dan pemulihan kepada korban dan recovery terhadap lingkungan
serta membayar dengan maksimal yang ditentukan undang-undang dan mengakui
bersalah atas terjadinya peristiwa pencemaran lingkungan tersebut. Syarat yang
kedua adalah adanya persetujuan dari korban atau ahli waris korban untuk tidak
dilakukannya penuntutan kepada Pelaku.
Menurut Penulis
agar tidak menimbulkan kesan penghilangan aspek pidana maka
mekanisme mediasi penal tersebut dilakukan dalam fase Penyidikan. Pihak yang
menjadi mediator dapat dilakukan oleh Penyidik ataupun pihak lain yang memilki
kompetensi sebagai Mediator masalah sengketa lingkungan hidup. Jika dalam
mediasi tercapai kesepakatan maka Penyidik akan mengajukan permohonan
penghentian sementara proses penyidikan kepada Penuntut Umum dengan disertai
hasil kesepakatan yang dihasilkan. Atas permintaan Penyidik tersebut
selanjutnya Penuntut Umum akan meneliti apakah kesepakatan Mediasi yang
dicapai tersebut memenihi kriteria yang di tentukan oleh undang-undang, jika
memenuhi syarat maka Penuntut Umum akan memberikan persetujuan penghentian
sementara penyidikan dan selanjutnya mengirimkan permohonan persetujuan
penghentian sementara penyidikan kepada Pengadilan Khusus Lingkungan Hidup.
Demikian sebaliknya jika hasil kesepakatan yang dicapai oleh dalam Mediasi
tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang maka Penuntut
Umum akan mengembalikan permohonan penyidik tersebut dan meminta agar dilakukan
mediasi ulang agar kesepakatan yang didapatkan mememuhi persyaratan
undang-undang.
Alasan lain
di mekanisme tersebut dilakukan pada
saat penyidikan adalah agar tetap dapat dilakukannya upaya paksa seperti
tindakan cegah untuk menghindarkan melakukan upaya melarikan
diri, adanya penyitaan dan pembekuan asset-asset dari pelaku untuk mencegah
mengalihan asset-aset.
Dalam mekanisme
tersebut diperlukan pembuatan time frame penyelesaian. Jika pelaku dalam waktu
yang telah ditentukan tidak dapat menyelesaian kewajibannya maka tindakan
pidana dalam hal ini penuntutan dapat segera dilaksanakan. Sebaliknya jika
pelaku dapat segera menyelesaikan seluruh kewajibannya tepat waktu sesuai
dengan time frame yang ditentukan maka Penyidik menyerahkan berkas perkara
kasus pencemaran lingkungan tersebut ke Penuntut Umum dan atas kewenangan yang
dimiliki untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum sesuai Pasal Pasal
35 huruf c UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Jaksa Agung melakukan
pengesampingan perkara demi kepentingan hukum dan Penuntut Umum mengirimkan
permohonan persetujuan pengesampingan perkara kepada Pengadilan Khusus
Lingkungan Hidup atas permohonan tersebut Pengadilan Lingkungan Hidup
menerbitkan Penetapan Persetujuan Pengesampingan Perkara.
Bahwa menurut
punulis dengan menerapkan mekanisme penyelesaian diluar pengadilan untuk
kasus-kasus sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam kategori pidana dan menerapkan
penuntutan di pengadilan apabila pleaku gagal melaksanakan kewajiban yang telah
disanggupi maka ketentuan pidana merupakan pilihan terakhir dari penyelesaian
sengketa lingkungan hidup.
Untuk
mencegah terjadinya tuntutan hukum yang lain kepada pelaku yang telah dengan
itikad baik untuk menyelesaian di luar
pengadilan dengan mediasi serta kepastian hukum maka maksnisme tersebut perlu
dilengkapi dengan instrument hukum atau ketentuan dimana atas suatu sengketa lingkungan
hidup yang masuk dalam kategori pidana dan telah diselesaikan melalui Mediasi
dan dilakukan penghentian penuntutan tidak dapat diajukan pembatalan dan
gugatan perdata.
4.
Mediasi Dalam Sengketa Lingkungan Hidup dengan Negara.
Sengketa
lingkungan hidup tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan perusahaan, atau
antara individu dengan kelompok bisnis, tetapi juga bisa terjadi antara
masyarakat dengan Negara. Sengketa ini terjadi terkait dengan kewenangan Negara
dalam pemberian ijin-ijin usaha atau ijin-ijin pelaksanaan eksploitasi Sumber
Daya Alam yang dalam pelaksanaannya membuat terjadinya kerusakan lingkungan
atau terkait dengan penegakan hukum administrasi dibidang lingkungan hidup.
Jika
membandingkan dengan India dimana jika terdapat sengketa terkait pemberian
izin-izin usaha atau izin-izin pelaksanaan eksploitasi Sumber Daya Alam didaerah
yang seharusnya tidak boleh didirikan industri mekanisme yang ditempuh oleh
masyarakat atas sengketa lingkungan dengan Negara dapat dilakukan melalui National
Environment Appellate Authority atau mengajukan Writ kepada Mahkamah Agung .
Di
indonesia selama ini proses sengketa administrasi diselesaikan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara, akan tetapi dalam prosesnya di persidangan tidak
terdapat mekanisme mediasi antara Pejabat tata usaha Negara dengan pihak
Pemohon. Bahkan dalam fase acara pemeriksaan Dismissal, hakim tidak menawarkan
jalan mediasi kepada pihak yang bersengketa. Peraturan Mahkamah Agung (Perma )
nomor 01 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tidak secara tegas
memasukkan sengketa Tata Usaha Negara sebagai perkara yang dilakukan upaya
mediasi sebelum dilakukan pemeriksaan perkara di persidangan.
Upaya
mediasi dalam perkara yang disidangkan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara
secara prinsip dapat dilaksanakan, menginggat dalam perkara TUN kelanjutan
suatu perkara tergantung pada masing-masing pihak yaitu Penggugat dan Tergugat.
Untuk menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup dengan Negara secara cepat maka
perlu adanya aturan hukum yang memberikan ruang mediasi baik yang dilakukan di
pengadilan dengan mediasi hakim ataupun diluar pengadilan.
Penyelesaian
melalui Mediasi seyogyanya dapat dilakukan dalam semua tingkatan proses
pengadilan. Manfaat utama yang dapat diraih dari penyelesaian Mediasi dalam
sengketa TUN di bidang lingkungan hidup adalah Sengketa TUN dapat diselesaian
lebih cepat karena tidak perlu menjalani tahapan persidangan sehingga terdapat
kepastian tentang penyelesaian permasalahan yang diajukan oleh Penggugat.
Mediasi
juga dapat diterapkan dalam kasus sengketa lingkungan hidup atas pelanggaran lingkungan hidup yang
memiliki sanksi administrative. Pemerintah selaku regulator dan pelaksana
menempuh jalur mediasi sebelum menjatuhkan hukuman kepada pencemar sehingga
menghindarkan atau mengurangi terjadinya sengketa lingkungan hidup antara Warga
Negara dengan pemerintah.
5.
Mendorong Pengajuan Hasil
Mediasi yang dilakukan diluar Pengadilan untuk mendapatkan
Akta Perdamaiandari Pengadilan.
Bahwa
sebagaimana diuraikan diatas salah satu hal
yang mengurangi efektifitas mediasi dalam penyelesian sengketa
lingkungan hidup adalah ketiadaan legalisasi dari pengadilan atas hasil yang
dicapai dalam mediasi. Dilibatkannya pengadilan dengan memberikan Penetapan,
merupakan suatu sarana pemaksa (enforce)
bagi para pihak untuk menjalankan kewajiban yang telah disepakati secara
konsekwen dimana hasil kesepakatan yang diberikan legalisasi oleh Pengadilan
Khusus Lingkungan Hidup memiliki kekuatan yang sama dengan Putusan Pengadilan.
Bahwaberbeda
dengan mediasi yang dicapai yang dilakukan di pengadilan dimana hasil mediasi
tersebut menjadi court order, mediasi
yang dilakukan di luar pengadilan pelaksanaannya akan tergantung keinginan baik
( goodwill ) dari para pihak. Menurut
Pasal 23 Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediiasi di Pengadilan,
kesepakatan yang dicapai dilakukan di luar pengadilan dapat dimintakan Akta Perdamaian melalui pengajuan Gugatan. Salah satu
penyebab kepatuhan dari para pihak untuk melaksanakan hasil mediasi adalah
tidak adanya mekanisme hukum yang dapat digunakan sebagai alat pemaksa.
Agar lebih efektif dan dapat diterapkan, maka perlu dibuat aturan
didalam undang-undang perlindungan lingkungan hidup tentang mekanisme penerapan
mediasi penal atas sengketa lingkungan hidup yang masuk kategori pidana.
Peraturan ini menjadi dasar hukum penerapan mediasi penal dan memuat aturan
tentang kewajiban menempuh mekanisme mediasi atas sengketa lingkungan hidup
yang masuk dalam kategori pidana sebelum melakukan penuntutan di pengadilan.
Dengan demikian hukum pidana merupakan ultimum remidium dalam sengketa
lingkungan hidup yang masuk dalam kategori pidana, dimana hukum pidana menjadi
pilihan terakhir makanala semua mekanisme telah ditempuh.
Penggunaan mediasi penal dalam sengketa lingkungan hodup yang masuk
kategori pidana merupakan suat penegakan hukum dimana jika mengacu pada
pendapat Keit Hawkins bahwa penegakan hukum
dapat dilihat dari dua startegi yaitu compliance
( Pentaaatan ) dan conciliatory style
(bersifat mendamaikan) , maka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam ketegori pidana
melalui mediasi digolongkan dalam strategi
conciliatory style atau suatu amicable
settlement (penyelesaian ramah tamah).
Penggunan Mediasi Penal sangat membantu dalam penyelesaian
sengketa lingkungan hidup yang masuk dalam kategori pidana karena banyak
perkara pidana lingkungan hidupnyang berakhir dengan kegagakan dalam penuntutan.
Kondisi tersebut akan semakin memperparah korban dan lingkungan. Melalui
mekanisme mediasi penal akan didapatkan penyelesaian
yang bijaksana serta menguntungkan seluruh pihak serta tidak ada yang merasa
dirugikan baik bagi pihak pencemar maupun pihak tercemar.
Disamping itu dalam
mediasi Penal dapat menghindarkan saling
tunding menunding dari para pihak yang bersengketa serta perasaan permusuhan
akan tetapi melalui Mediasi yang diharapkan adalah kejujuran untuk menciptakan
keadilan dengan menyamakan persepsi dalam mencari solusi terhadap lingkungan
yang telah rusak dan tercemar, karena untuk ekosistem yang telah rusak dan
tercemar tidak ada tindakan yang paling bermanfaat kecuali memperbaiki
lingkungan dan mencegah terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan kembali
serta tidak ada perasaan menang atau kalah.
6.
Pembentukan Pengadilan Khusus Lingkungan.
Bahwa untuk lebih memberikan
efektifitas dalam penanganan masalah lingkungan hidup, diperlukan adanya suatu
pengadilan khusus lingkungan hidup. Pembentukan pengadilan ini merupakan salah satu tatanan hukum dimana
menrut Mochtar Kusumaatmadja
yang memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas 3 (
tiga) komponen (subsistem) yaitu Azas-azas dan kaidah hukum, Kelembagaan hukum,
Proses perwujudan hukum.
Tidak seperti Environmental Tribunal
di India yang hanya mempunyai kewenangan terkait ganti rugi, akan tetapi
pengadilan khusus lingkungan hidup memiliki kewenangan yang lebih luas yaitu 1)
mempnyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup baik pidana
maupun perdata, 2) penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa dan
3) memberikan Penetapan untuk penyelesaian lingkungan hidup yang diselesaikan
oleh para pihak yang bersengketa diluar pengadilan.
Bahwa
didasarkan kepada sifat perkara atau
sengketa lingkungan hidup yang khas dan membutuhkan sumber daya manusia yang
mengetahui tentang hukum lingkungan dengan baik serta sebagai solusi
digunakannya mekanisme-mekanisme prosedur baru yang tidak dikenal dalam praktek
pengadilan umum seperti menerbitkan Penetapan Pengadilan atas hasil Mediasi
yang dilakukan diluar Pengadilan, menerbitkan Penetapan Pengadilan untuk
kasus-kasus sengketa lingkungan hidup yang dikesampingkan penuntutannya.
Seperti pengadilan
Khusus lainnya di Indonesia Pengadilan Lingkungan Hidup ini
merupakan penambahan kamar ( chamber
) pengadilan negeri sehingga menjadi bagian dari pengadilan di bawah Mahkamah
Agung. Menginggat sifat perkara yang ditangani bersifat khusus maka hakim-hakim
yang menanggani perkara lingkungan hidup harus memiliki sertifikasi sebagai
hakim lingkungan hidup. Hakim dalam pengadilan lingkungan hidup ini terdiri
atas hakim karier dan hakim non karier.
Dengan memiliki Pengadilan Khusus
Lingkungan hidup dan personil yang melaksanakannya mempunyai kemampuan khusus
tentang masalah lingkungan hidup, maka diharapkan akan lahir suatu atmosfir
penegakan hukum lingkungan yang lebih menitikberatkan kepada keadilan dan recovery korban dan lingkungan.
Pengadilan Khusus
Lingkungan Hidup juga dapat memasukkan penetapan Sita Jaminan terhadap asset
dari salah satu pihak yang memiliki kewajiban kepada pihak lain sehingga
apabila kesepakatan kewajiban tidak dilakukan oleh salah satu pihak yang
memiliki kewajiban maka pihak yang mempunyai hak untuk menerima prestasi berhak
untuk mengajukan pencairan sita jaminan tersebut.
Bahwa dengan adanya mengarus utamaan (menstream) pada penggunaan Mediasi dalam seluruh sengketa
lingkungan hidup baik baik perdata, administrasi serta pidana akan dicapai
hasil yang maksimal serta memiliki keberpihakan kepada recovery korban dan lingkungan. Sebagai suatu mekanisme penegakan
hukum dalam hukum lingkungan hidup,
mediasi memberikan suatu penyelesaian yang cepat dan pencapaian keadilan bagi
semua ( justice for all ) dimana
mediasi menjadi solusi atas penyelesaian
sengketa lingkungan hidup yang dalam penyelesaian secara hukum yang tak kunjung
selesai dan pupus ditengah jalan dalam proses hukum, karena itulah jalan yang
bijaksana dalam penyelesaian masalah ini adalah menggunakan konsep mediasi,
dimana dalam konsep ini akan menguntungkan seluruh pihak dan tidak ada yang
merasa dirugikan baik bagi pihak pencemar maupun pihak tercemar. Disamping itu
dalam mediasi tersebut tidak ada saling tunding menunding dari para pihak yang
bersengketa, namun yang ada akan timbul
adalah kejujuran untuk menciptakan keadilan dengan menyamakan persepsi dalam
mencari solusi terhadap lingkungan yang telah rusak dan tercemar, karena untuk
ekosistem yang telah rusak dan tercemar tidak ada tindakan yang paling
bermanfaat kecuali memperbaiki lingkungan dan mencegah terjadi perusakan dan
pencemaran lingkungan kembali sehingga tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan terciptanya hormoni sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar